Kamis, 14 Maret 2013
As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an
Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah
Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan,
perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para
sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk
didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi
pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan
yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih
(Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh
Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah
:
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah
seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam
Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh
para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal.
24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari
Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)
Dalil-dalil yang Menunjukkan
Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama:
Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa
seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah
sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk
dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila
ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan
tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya
penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal
itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan
penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak
seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang
dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab
menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini
( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad
Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar
menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan
As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam
mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat
As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.(
Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits,
baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu
dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara
yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits
secara lengkap.
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram
menyelisihinya
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan
As-Sunnah
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
1.
Firman Allah :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
2.
Firman Allah :
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)
3.
Firman Allah :
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
4.
Firman Allah :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)
5.
Firman Allah :
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan agar
mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
1. Abu
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2. Abu
Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
3. Abu
Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
Kesimpulan :
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
Referensi:
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah
Fatawa
Kewajiban Mengikuti Syari’at dan Larangan Melakukan Bid‘ah
Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata,
Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan
(agama) kami ini, maka hal itu tertolak.” Dalam riwayat yang lain
–Rasulullah- bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan tanpa ada dasar
dari urusan (agama) kami, maka ia tertolak.”
TAKHRIJ HADITS
RINGKAS
Lafal yang pertama diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no. 2550) dan Muslim (hadits no. 1718). Sedangkan lafal yang kedua diriwayatkan oleh Muslim (hadits no. 1718), sedangkan Bukhari menyebutkannya dalam salah satu bab dalam Shahih-nya di juz ke-6 halaman 2675.
BIOGRAFI PERIWAYAT HADITS ‘AISYAH –radhiyallahu ‘anha-
Ia adalah ‘Aisyah putri khalifah-Rasulullah Abu Bakar (Abdullah) bin Abu Quhafah (Utsman) bin ‘Amir bin ‘Amr, dari Bani Taim keturunan suku Quraisy. Ibunya bernama Ummu Ruman binti Amir bin ‘Uwaimir Al-Kinaniyah.
Ia lahir pada tahun ke-4 atau ke-5 dari kerasulan Nabi. Pada usia 6 atau 7 tahun ia dinikahi oleh Rasulullah setelah istri beliau yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat, tepatnya 2 atau 3 tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah. Rasulullah baru hidup serumah dengannya ketika dia berusia 9 tahun, yaitu pada bulan Syawwal tahun ke-2 H sepulangnya beliau dari Perang Badar Kubra. Sebagai istri Rasulullah, ia pun mendapat sebutan Ummul Mu’minin. Ia merupakan isteri yang paling utama dan paling dicintai oleh Rasulullah dibandingkan dengan istri-istri beliau yang lain selain Khadijah –radhiyallahu ‘anha- (karena ada perbedaan pendapat dalam hal siapakah yang lebih utama antara ‘Aisyah dan Khadijah). Dan ketika Rasulullah wafat, usianya baru mencapai 18 tahun.
Lafal yang pertama diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no. 2550) dan Muslim (hadits no. 1718). Sedangkan lafal yang kedua diriwayatkan oleh Muslim (hadits no. 1718), sedangkan Bukhari menyebutkannya dalam salah satu bab dalam Shahih-nya di juz ke-6 halaman 2675.
BIOGRAFI PERIWAYAT HADITS ‘AISYAH –radhiyallahu ‘anha-
Ia adalah ‘Aisyah putri khalifah-Rasulullah Abu Bakar (Abdullah) bin Abu Quhafah (Utsman) bin ‘Amir bin ‘Amr, dari Bani Taim keturunan suku Quraisy. Ibunya bernama Ummu Ruman binti Amir bin ‘Uwaimir Al-Kinaniyah.
Ia lahir pada tahun ke-4 atau ke-5 dari kerasulan Nabi. Pada usia 6 atau 7 tahun ia dinikahi oleh Rasulullah setelah istri beliau yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat, tepatnya 2 atau 3 tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah. Rasulullah baru hidup serumah dengannya ketika dia berusia 9 tahun, yaitu pada bulan Syawwal tahun ke-2 H sepulangnya beliau dari Perang Badar Kubra. Sebagai istri Rasulullah, ia pun mendapat sebutan Ummul Mu’minin. Ia merupakan isteri yang paling utama dan paling dicintai oleh Rasulullah dibandingkan dengan istri-istri beliau yang lain selain Khadijah –radhiyallahu ‘anha- (karena ada perbedaan pendapat dalam hal siapakah yang lebih utama antara ‘Aisyah dan Khadijah). Dan ketika Rasulullah wafat, usianya baru mencapai 18 tahun.
Kun-yah-nya adalah Ummu Abdillah, nisbat kepada
Abdullah bin az-Zubair (bin Al-‘Awwam), anak Asma’–kakaknya seayah–. Semenjak
menjadi pendamping Rasulullah, dia sekaligus menjadi murid beliau. Dia banyak
meriwayatkan hadits dari Rasulullah, bahkan dia termasuk di antara tujuh sahabat
yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi. Sedangkan di kalangan wanita,
secara mutlak dia adalah wanita yang paling fakih dalam hal agama.
‘Aisyah juga digelari Ash-Shiddiqah binti
Ash-Shiddiq. Ia mendapat pembelaan dari Allah ketika difitnah telah berbuat
tidak senonoh dengan salah seorang sahabat Nabi yang bernama Shafwan bin
Mu’aththal yang dikenal sebagai kisah al-Ifki dan Allah mengabadikan
pembelaan-Nya terhadap ‘Aisyah dalam surat An-Nur ayat 11 dan beberapa ayat
sesudahnya.
Banyak sekali keutamaan-keutamaan yang disandang
oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Salah satunya adalah yang
tersebut di dalam satu hadits yang shahih dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa
Rasulullah pernah berkata, “Keutamaan Aisyah atas para wanita yang lain
bagai keutamaan tsarid (bubur daging) atas jenis makanan yang lain.”
Diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no 3558 dan lainnya) dan Muslim (hadits no.
2431 dan 2446)
Ia wafat pada malam Selasa tanggal 17 Ramadhan
tahun 57 atau 58 H, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’. Lihat biografinya dalam
Al-Ishabah (VIII/16), Al-Isti’ab (IV/1881), Siyar A’lam An-Nubala
(II/135), Taqrib At-Tahdzib (I/750), Ats-Tsiqat (III/3230) dan kitab-kitab
biografi lainnya. –Radhiyallahu ‘anha wa ardhaha-
MAKNA KATA DAN
KALIMAT
(أَحْدَثَ) bermakna (اِخْتَرَعَ = membuat/menciptakan –sesuatu yang baru-) Lihat Fathul Bari (V/357), cet. Dar Ar-Rayyan li At-Turots, Kairo, th. 1407 H.
(أَمْرُِنَا) maknanya adalah (دِيْننَا = agama kami) atau (شَرْعُنَا = syariat kami) Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163), cet. Daar Ibnu Al-Jauzi, Dammam-KSA, th. 1415 H.
(رَدٌّ) maknanya (مَرْدُوْدٌ = tertolak/tidak diterima) Lihat Fathul Bari (V/357); dan Syarah Shahih Muslim (XII/15) cet. Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, th. 1415 H.
(أَحْدَثَ) bermakna (اِخْتَرَعَ = membuat/menciptakan –sesuatu yang baru-) Lihat Fathul Bari (V/357), cet. Dar Ar-Rayyan li At-Turots, Kairo, th. 1407 H.
(أَمْرُِنَا) maknanya adalah (دِيْننَا = agama kami) atau (شَرْعُنَا = syariat kami) Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163), cet. Daar Ibnu Al-Jauzi, Dammam-KSA, th. 1415 H.
(رَدٌّ) maknanya (مَرْدُوْدٌ = tertolak/tidak diterima) Lihat Fathul Bari (V/357); dan Syarah Shahih Muslim (XII/15) cet. Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, th. 1415 H.
Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa siapa
saja yang memunculkan atau membuat suatu perkara baru dalam agama atau syariat
ini yang tidak ada asal atau dasar darinya, maka perkara itu tertolak. Secara
tekstual hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada dasarnya dari
syariat berarti amalan tersebut tertolak. Dan secara kontekstual menunjukkan
bahwa setiap amalan yang ada dasarnya dari syariat berarti tidak tertolak atau
dengan kata lain bahwa amalan tersebut diterima. Lihat Jami’ Al-‘Ulum
wal Hikam (I/163) dan Qawaid wa Fawaid (hal.
76).
Lafal yang kedua lebih umum dari yang pertama
Lihat Fathul Bari (V/357)., dan di dalamnya terkandung tambahan
makna, yaitu bahwa bila ada seseorang yang melakukan bid‘ah yang sudah ada
sebelumnya lalu mengatakan, “Saya tidak mengadakan perkara baru,” maka
perkataannya tersebut terbantahkan oleh lafal yang kedua yang secara jelas
menolak segala bid‘ah yang dibuat-buat, baik yang baru diadakan maupun yang
sudah dibuat sebelumnya. Lihat Syarah Shahih Muslim
(XII/15).
KEDUDUKAN HADITS Lihat Qawaid wa Fawaid (hal. 75).
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini termasuk di antara pokok-pokok serta kaidah landasan ajaran agama Islam.” Lihat Fathul Bari (V/357).
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini termasuk di antara pokok-pokok serta kaidah landasan ajaran agama Islam.” Lihat Fathul Bari (V/357).
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini termasuk
di antara –hadits-hadits- yang patut dihapal (dijaga), digunakan untuk
memberantas segala kemungkaran, serta patut untuk disebarkan dalam berdalil
dengannya.” Lihat Syarah Shahih Muslim
(XII/15).
Ath-Thuruqi berkata, “Hadits ini pantas
disebut sebagai separuh dalil-dalil syariat karena yang dituntut dalam berdalil
adalah menetapkan hukum atau menampiknya, dan hadits ini adalah kunci terbesar
dalam menetapkan atau menampik setiap hukum syariat.” Lihat Fathul
Bari (V/357).
Ibnu Rajab berkata, “Dan hadits ini merupakan
landasan yang agung di antara landasan-landasan ajaran Islam dan ia merupakan
timbangan bagi amalan lahir. Sebagaimana bahwa hadits(اْلأَعْمَالُ
بِالنِّيَّاتِ) Telah dibahas dalam majalah Fatawa volume 1 dan 2 tahun
I.
adalah timbangan bagi amalan batin.” Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/162).
adalah timbangan bagi amalan batin.” Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/162).
FAEDAH-FAEDAH
Hadits ini termasuk di antara perkataan-perkataan Nabi yang singkat namun padat isinya (Jawami’ul Kalim) Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15)..
Hadits ini termasuk di antara perkataan-perkataan Nabi yang singkat namun padat isinya (Jawami’ul Kalim) Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15)..
Banyak faedah yang dapat kita ambil darinya, dan
yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban Mengikuti Syariat dalam
Beragama
Secara kontekstual (tersirat) hadits ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan agama, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, muamalah, maupun yang lainnya, kita wajib untuk mengikuti syariat yang Allah turunkan kepada Nabi yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan wajib pula mengembalikan segala permasalahan kepada keduanya. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah dalil-dalil berikut :
Secara kontekstual (tersirat) hadits ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan agama, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, muamalah, maupun yang lainnya, kita wajib untuk mengikuti syariat yang Allah turunkan kepada Nabi yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan wajib pula mengembalikan segala permasalahan kepada keduanya. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah dalil-dalil berikut :
a. Dari Al-Qur’an
Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’:59)
Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’:59)
Firman Allah :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr:7)
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr:7)
b. Dari As-Sunnah
Sabda Nabi :
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149). Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149).
Sabda Nabi :
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149). Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149).
sabda Nabi dalam hadits Al-‘Irbadh bin Sariyah
:
“Berpegangteguhlah kalian dengan Sunnah-ku dan sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk (setelahku).”
“Berpegangteguhlah kalian dengan Sunnah-ku dan sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk (setelahku).”
2. Larangan Mengadakan Bid‘ah dalam
Agama
Adapun secara tekstual (tersurat), hadits ini menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang diada-adakan dalam agama tidaklah memiliki dasar dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Ibnu Hajar berkata, “Dan (hadits ini) mengandung penolakan terhadap segala perkara (bid‘ah) yang diada-adakan dan bahwa larangan di sini menunjukkan –bahwa perkara tersebut- batil karena segala perkara yang dilarang bukanlah termasuk bagian dari (perkara urusan) agama sehingga wajib untuk ditolak.”
Adapun secara tekstual (tersurat), hadits ini menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang diada-adakan dalam agama tidaklah memiliki dasar dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Ibnu Hajar berkata, “Dan (hadits ini) mengandung penolakan terhadap segala perkara (bid‘ah) yang diada-adakan dan bahwa larangan di sini menunjukkan –bahwa perkara tersebut- batil karena segala perkara yang dilarang bukanlah termasuk bagian dari (perkara urusan) agama sehingga wajib untuk ditolak.”
Bid‘ah
pada hakikatnya adalah ‘sesuatu (yang baru) yang diada-adakan dalam agama yang
menandingi cara yang –telah- disyari’atkan dengan tujuan agar mendapat nilai
lebih dalam beribadah kepada Allah. Padahal kita telah diperintahkan untuk
ber-ittiba’ (mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasul ) dan
dilarang untuk melakukan bid‘ah karena agama Islam ini telah sempurna sehingga
sudah cukup dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang telah
diterima oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari generasi sahabat dan orang-orang yang
mengikuti mereka dengan baik Mukhtarat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz
(hal.271), cet. Jam’iyyah Ihya At-Turots, th. 1418 H.
Maka seorang yang membuat atau melakukan bid‘ah
berarti telah berbuat lancang terhadap Allah sebagai pemilik tunggal hak dalam
hal membuat syariat. Dan seolah-olah dia mengatakan bahwa syariat ini belum
sempurna, dan bahwasanya masih ada sesuatu yang harus atau perlu ditambah atau
dikoreksi karena kalau dia meyakini akan kesempurnaan syariat dari segala
sisinya, niscaya dia tidak akan berbuat bid‘ah dan tidak akan menambah atau
mengoreksinya.
Ibnu Al-Majisun berkata, aku mendengar Imam Malik
berkata, “Barangsiapa yang berbuat bid‘ah dalam Islam dan dia memandangnya baik,
berarti dia telah menganggap bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah (yakni
tidak menyampaikannya secara sempurna), karena Allah telah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu
agamamu.” (Q.S. Al-Maidah:3)
Maka apa yang pada hari itu (masa nabi) bukan
merupakan agama, berarti bukan pula merupakan agama pada hari ini.” Lihat
Al-I’tisham (1/64) cet. Daar Ibnu ‘Affan, Khubar-KSA, th. 1418 H, dan lihat juga
risalah Al-Bid‘ah Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal.
10).
3. Macam-macam Bid‘ah
Melihat kepada jenisnya, bid‘ah
itu terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Bid‘ah haqiqiyyah, yaitu
bid‘ah yang tidak ada satu pun dalil syar’i yang menunjukkannya. Tidak dari
Kitab, Sunnah maupun ijma’, seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan
yang haram, mengadakan peryaan maulud nabi dan tahun baru.
b. Bid‘ah idhafiyyah, yaitu
memasukkan ke dalam syari’at sesuatu yang bersumber dari diri si pelaku bid‘ah
sehingga mengeluarkan syari’at dari asal karena sebab penambahan yang dilakukan
si pembuat bid‘ah yang dari satu sisi disyari’atkan tetapi si pelaku bid‘ah
memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bersumber dari dirinya sehingga
mengeluarkannya dari asal disyari’atkannya, karena perbuatan si pelaku bid‘ah
tadi. Kebanyakan bid‘ah yang tersebar di tengah-tengah masyarakat adalah dari
jenis ini. Seperti shaum (puasa), ia adalah ibadah yang disyari’atkan, namun
bila seseorang mengatakan, “Saya akan berpuasa sambil berdiri dan tidak akan
duduk di terik matahari dan tidak akan berteduh,” maka (tambahan
persyaratan yang ia tetapkan itulah bid‘ahnya sehingga puasa yang pada awalnya
disyari’atkan menjadi tidak disyari’atkan dikarenakan bid‘ah yang ia tambahkan
dalam puasa tersebut). Jadilah dia telah berbuat bid‘ah Lihat Al-Bid‘ah
Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal. 14-15) dan lihat
juga pembahasan ini dalam Al-I’tisham (1/367).
Dan dari sisi objeknya, bid‘ah
tersebut bisa terjadi dalam semua perkara agama, diantaranya :
Dalam aqidah, seperti bid‘ahnya kelompok-kelompok
sesat semisal Khawarij Kelompok yang keluar dari kepempinan Khalifah Ali bin Abi
Thalib. Rafidhah (Sekte Syi’ah yang amat melampaui batas, yang diantaranya
mengatakan bahwa para sahabat Nabi telah merubah dan mengurangi Al-Qur’an
:
a. Jahmiyyah Kelompok pengikut Jahm bin Shafwan,
yang diantaranya mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk., dan yang
lainnya.
b. Dalam ibadah, seperti berdzikir dengan tatacara dan bentuk tertentu dan dilakukan secara berjama’ah serta satu suara (koor).
c. Dalam Mu’amalah, seperti menikahi wanita yang haram dinikahi, baik karena adanya hubungan nasab, satu susuan atau yang lainnya.
b. Dalam ibadah, seperti berdzikir dengan tatacara dan bentuk tertentu dan dilakukan secara berjama’ah serta satu suara (koor).
c. Dalam Mu’amalah, seperti menikahi wanita yang haram dinikahi, baik karena adanya hubungan nasab, satu susuan atau yang lainnya.
Adapun dari sisi akibatnya dapat
dibagi dua, yaitu:
a. Bid‘ah mukaffirah, yaitu yang
dapat menyebabkan pelakunya jatuh dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari
Islam.
b. Bid‘ah mufassiqah, yaitu yang pelakunya dihukumi dengan kefasikan atau dalam kategori kemaksiatan, tidak mengeluarkannya dari Islam.
b. Bid‘ah mufassiqah, yaitu yang pelakunya dihukumi dengan kefasikan atau dalam kategori kemaksiatan, tidak mengeluarkannya dari Islam.
Catatan :
Seorang penuntut ilmu hendaknya berhati-hati dan jangan terburu-buru menolak atau tidak menerima suatu amalan lalu berdalil dengan hadits ini, hendaknya dia melihat dulu perkataan para ulama tentang masalah tersebut, memperhatikan batasan-batasan (dhawabith) dan kaidah-kaidah (ushul) yang dengan itu semua dia bisa menghukumi apakah memang amalan tersebut tertolak dan tidak diterima.
Seorang penuntut ilmu hendaknya berhati-hati dan jangan terburu-buru menolak atau tidak menerima suatu amalan lalu berdalil dengan hadits ini, hendaknya dia melihat dulu perkataan para ulama tentang masalah tersebut, memperhatikan batasan-batasan (dhawabith) dan kaidah-kaidah (ushul) yang dengan itu semua dia bisa menghukumi apakah memang amalan tersebut tertolak dan tidak diterima.
Kesimpulan :
1. Islam adalah agama yang sempurna sehingga tidak butuh kepada penambahan, pengurangan atau koreksi.
2. Mengikuti syari’at (ittiba’) merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang.
3. Bid‘ah merupakan salah satu pembatal amal ibadah seseorang dan dapat menjerumuskannya dalam kesesatan.
1. Islam adalah agama yang sempurna sehingga tidak butuh kepada penambahan, pengurangan atau koreksi.
2. Mengikuti syari’at (ittiba’) merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang.
3. Bid‘ah merupakan salah satu pembatal amal ibadah seseorang dan dapat menjerumuskannya dalam kesesatan.
-Wallahu A’lam
bish-shawab-
Hadits Hudzaifah Rodhiallohu Ta’ala ‘Anhu
[Tulisan ini disadur dan diringkas dari kutaib
yang berjudul “Qaulul Mubin fi Jama’atil Muslimin” karangan Syaikh Salim bin
‘Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa tahun, dan dimuat di majalah
As-Sunnah edisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13, diambil dari situs www.assunnah.or.id]
NASH HADITS
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
MAKNA HADITS
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Alloh berfirman,
“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat,
supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. (QS Al-An’am:
55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan)
jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin) secara langsung
berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh karena itu istibanah
(kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran
penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan Sabilul Mujrimin akan
berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan Sabilul Muminin. Oleh karena
itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang
sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan. Ada
sebagian cendikiawan syair menyatakan.
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat
buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”
“Barang siapa yang tidak dapat membedakan
antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya”
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi
pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu. Maka ia berkata,
“Manusia bertanya kepada Rosululloh tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya
tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.
Kedua, Kekokohan Kita Dihancurkan dari
Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa.
Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya
serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber
kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya.
Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan
halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum
Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Alloh dari
dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Alloh menjanjikan kepada kaum Muslimin
dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan di dalam hati
orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Alloh, di mana
Alloh belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran:
151)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan
kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan
jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ;
…. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam
Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh
sabda beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang
menyatakan, “Alloh akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian
…”.
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan
umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri
dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang
kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan
yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab, “Bahkan ketika itu kalian banyak
sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Kemudian apa yang
menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke
langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum
muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barokahnya bukanlah senjata
dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para
pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang
mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah shalallahu
‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36
mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (pengkhianatan dan makar),
atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang
datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam
Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid
yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits
lain, “Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no.
4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna
kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati
mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang
lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda
beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan
tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam
‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari yang berkata: “Asal kata dakhanun
adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini
mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan
(fasad)”.
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan
menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri.
Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah
dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar
rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti
kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah
bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar-
secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan
tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada
hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan
dalam hadits riwayat Muslim yang artinya “Akan ada di kalangan mereka orang yang
berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada
manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal
(kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka.
Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan
diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai dai atau du’at
-dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak dari da’a yang berarti
sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung
manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).
Ketiga, Jamaah minal Muslimin dan bukan
Jamaah Muslimin/’Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja
untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah Jamaatul Muslimin dan
imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini
di mana Alloh tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah
Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul
Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini
tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang
disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin
yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Alloh. Adapun jamaah yang
bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin
yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan
yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus
dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul
Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rohimahullo h yang menyatakan:
“Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian
diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada
orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada
Jamaah, karena Alloh tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa
sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak
mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka
janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian
mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Keempat, menjauhi semua
firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Kelima, jalan
penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pertama,
bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah
dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits
riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di
antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah
terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang
siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan
sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat
Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang
lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut,
yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu yang berisi perintah untuk
memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka
terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada
As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridhwanullah ta’ala
‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jamaah Muslimin serta
Imamnya.
Kedua,
di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam
hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi
maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang
Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna
bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan
cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh
karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini
walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang
lagi lebih dahsyat.
Ketiga,
oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya
kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk
menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan
beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk
menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh Dajjal.
Maraji’:
-
Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
-
Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
-
Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
-
Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani
-
Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
-
As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
-
As-Sunnan, oleh Abu Dawud
-
As-Sunnan, oleh Tirmidzi
-
Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
-
Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
-
As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
-
‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi
-
Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
-
Al-Mustadrak, oleh Hakim
-
Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal
Fiqih Islam
PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)
dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)
Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)
Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang
berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah
terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang
bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang
bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH
ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya
sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya
:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu
hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku,
dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al
maidah:6)
b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah
kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya
:
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi
kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu
persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)
FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA
Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.
Penjelasannya sebagai berikut:
Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah
kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini
disebut dengan Fiqih Ibadah.
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah
kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan
yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As
sakhsiyah.
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan
manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa,
pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih
mu’amalah.
4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan
kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan,
memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan
dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam
hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih
siasah syar’iah.
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman
terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban.
Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini
disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri
Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang
atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as
Siyar.
7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan
prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan
akhlak
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
SUMBER-SUMBER FIQIH
ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
AL QUR’AN
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :
a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer
(miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita
merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah
swt: (QS. Al maidah : 90)
b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli
dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al
baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak
memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)
Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an.
Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka
kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan
hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad
yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang
bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya
didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat
aku shalat” (Bukhari no.595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian
hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai
cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan
ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi
no.2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita
tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal
yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para
ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal
dengannya.
QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam
perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih
lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul
manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah
Fatawa
Fiqih Nasehat
Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah
bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga
kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk
Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin
umumnya.”
Takhrij Hadits
Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.
Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.
Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.
Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan
kalimat ‘tsalaasan‘ (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat
dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu
Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan
Imam an Nawawi dalam al-Arbain (hadits no.7) membawakannya tanpa
pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).
Biografi Periwayat
Hadits
Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].
Dalam kisah itu terdapat cerita tentang Dajjal
yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita dari
kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), dan ini sebagai
salah satu keutamaan beliau (selengkapnya kisah al-Jassasah ini dalam Shahih
Muslim (hadits no. 2942).
Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah
sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke
Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. Beliau termasuk salah
seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau
riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu
hadits ini. Hidup beliau dipenuhi dengan ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat
malam), dan membaca al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin,
Palestina, tanpa meninggalkan seorang anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah
meridhai beliau. (Lihat biografinya dalam al-Ishabah (I/367), al-Isti‘ab
(I/193), Siyar A‘lamin Nubala’ (II/442), ats-Tsiqat (III/39),
dll).
Makna Kata dan
Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.
Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nushhu)
yang memiliki beberapa pengertian.
a. (al-Khulush) berarti murni (Lisanul-Arab
(II/616), an-Nihayah (V/62), seperti dalam kalimat :
(alkhaalisu minal ‘asali) ‘Madu yang murni’. Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari
kotoran dusta dan khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari
lilin (I‘lamu l-Hadits (I/190), dan Syarah Shahih Muslim
(II/33)).
b. (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti
‘menjahit/ menyulam dengan jarum’ (Lisanul-Arab (II/617), Fathul
Bari (I/167). Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada
saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan
orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan
layak dipakai. (I’lamul-Hadits (I/190) dan Syarah Shahih Muslim
(II/33).
Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir
menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang
sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati.
Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus
bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna
dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat
adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala
yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata
yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab
yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung
dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) dan Syarah Shahih
Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).
Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).
Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki
kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa dia
adalah seperempat agama (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203) dan Fathul
Bari (I/167)).
Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya,
seperti dikatakan oleh an Nawawi (Syarah Shahih Muslim
(II/32)).
Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa
agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam,
Iman, dan Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril (Muslim (hadits no. 8) dari
Umar bin al-Khaththab)” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (1/206)).
MACAM-MACAM NASEHAT
“Agama (Islam) itu adalah
nasehat”.
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).
Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini)
bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar
agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu
Arafah’.
Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya
lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan
yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian
agama.” (Fathul Bari (I/167))
“Nasehat bagi
Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.
Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah
(penyandaran) nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu
sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih
Muslim (II/33), dan lihat I’lamul-Hadits (I/191)).
“Nasehat bagi Kitab
Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya.
Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim
(menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) – yakni bahwa
semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus,
mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang
dihapus hukumnya). Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia
untuk berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna
nasehat bagi Kitabullah (Syarh Shahih Muslim (II/33), dan lihat juga
I’lamul-Hadits (I/191-192)).
“Nasehat bagi
Rasulullah”.
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).
“Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum
muslimin”.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.
Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk
dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad
bersama mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak
dan mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku
zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan
mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan
para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum
muslimin, dan inilah yang masyhur”. Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga
ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat
bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum
mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan)
kepada mereka”. (Syarah Shahih Muslim (2/33-34), I’lam al-Hadits
(1/192-193)).
“Nasehat bagi kaum muslimin
umumnya”.
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).
Keutamaan Orang yang Memberi
Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya,
Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka
Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat
Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai
orang-orang yang memberi nasehat’” (Q.S. Al-A‘raf: 79).
Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan
manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul.
Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi,
maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta
langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini
(Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).
Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).
Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh,
nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan
ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat,
sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang
merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal.
95)).
Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin
Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab
dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua,
ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau
memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini
(Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).
Faedah-Faedah
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).
Dan bahwa nasehat itu dinamakan agama dan Islam,
dan bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada yang berupa
perkataan (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).
2. Perkataan Imam Bukhari dalam shahihnya, “Bab
sabda Nabi, ‘Ad-diinun nashiihah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil muslimin
wa ‘ammatihim’ Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohu lillahi walirasuulihi)” dalam
kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat merupakan bagian dari iman
(Qawaid wa Fawaid (hal. 96)).
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah
Fatawa
Syarah Hadits Wali
Penulis: Ustadz Ali Musri, M.A.
Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam,
sholawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat
manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para
sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka
sampai hari kiamat.
Terjemahan Hadits:
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi
shalalahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Alloh, adapun
perbedaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang
masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya
datang langsung dari Alloh adapun hadits biasa lafaznya dari nabi sedangkan
maknanya dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits
Qudsi dengan Al Qur’an? Karena keduanya sama-sama datang dari Alloh baik lafaz
maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al Quran mendapat
pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat
pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan
dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang
berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa
ilmu. Wallohu a’lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah
shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu, sahabat yang
terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Nama
beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang
khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak
meriwayatkan hadits?
Pertama,
berkat doa nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang
ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua,
ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan
lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain Mereka
mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby
menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Tholhah bin
Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami
mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan
sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia
mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan
menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan
pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi
dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu
dipintu rumah Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama
tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami
tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan
tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah shalAllohu
‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan
tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya:
aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah
melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia,
aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku
selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang
beliau, maka oleh sebab itu (demi Alloh) aku menjadi orang yang paling tahu
dengan hadits-hadits beliau.
Kandungan Hadits
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Pertama: Tentang al wala’ wal bara’
(loyalitas dan berlepas diri).
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian
kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa
menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu
bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin
kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan
sunnah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat
menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling
nomor satu dalam memusuhi wali-wali Alloh adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka
sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari
seluruh wali Alloh setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia.
Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah
berjuang dijalan Alloh untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga
mereka.
Imam As Sya’bi mengungkapakan bahwa kebencian
Rafidhah kepada para wali Alloh melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada
para wali Alloh: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi
terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau
bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan
menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa
generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat
Muhammad.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata,
“Sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi Mereka
tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al Quran dan
sunnah supaya bisa membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah)
itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang
zindiq.”
Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai
kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan
nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa
bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang
melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara
ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa
memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu
melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini
sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar
nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkam
kepada mereka.
Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita,
yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Alloh itu? bermacam pandangan telah
mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki
hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti
tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang
berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian
lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit
berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir
selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian
yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.
Pengertian Wali
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.
Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali
Alloh terbagi kepada dua golongan:
Golongan Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari
orang-orang yang dekat dengan Alloh). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang
mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal
yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu
mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup
dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang
diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang
makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits
di atas: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan
sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan
kepadanya”.
Kedua golongan ini disebutkan Alloh dalan
firman-Nya:
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut
amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Alloh
dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali
ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar
menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Alloh sebaliknya bila amalannya
penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan.
Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Alloh
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri
oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan
tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang
pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua
kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut
adalah bukan wali Alloh. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam
beribadah kepada Alloh, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama
atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar.
Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat
bahwa Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan
nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Alloh dan
menjauhi apa yang dilarang Alloh. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini
yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan
amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai
wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Alloh maka ia termasuk pada jenis wali
yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah
dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun
zikir, dll.
Ciri-Ciri Wali Setan
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Alloh terangkan dalam firmanNya bahwa
setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka:
“Sesunguhnya setan-setan itu mewahyukankan
kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka
sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Al An’aam:
121).
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan
berdo’a di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri
karena telah menyekutukannya dengan Alloh. Manakah yang lebih tinggi kehormatan
seorang wali disisi Alloh dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih
tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa.
Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan
manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal
itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan nabi
shalAllohu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat
diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di
Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah
kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan
nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Karena
kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam
dunia.
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam
menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan
amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan
Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah
yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengikari kalau memang beliau
seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari
tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah
sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan
pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau
shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama’ah dan shalat jum’at? adakah
petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini?
Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki
atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal
belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin
setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada
orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa
memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati
dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah
amalanya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam
Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di
udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”.
Karena setan bisa membawa seseorang untuk
terbang, atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang
lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang
luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala
yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syetan. Dan banyak sekali kejadian
yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang
murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang
nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahwa
dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas:
sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat
tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman
Alloh:
“Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa
turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “.
(Asy Syu’araa: 221-222). Dan yang lain membaca
firman Alloh, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali
Mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia
tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an
dan Sunnah. Karena nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah
hadits: “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan
bisikan dari malaikat”. (HR. At Tirmizy no: 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi
terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku
tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah”.
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu
Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa
yang dikatakan wali.
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang
kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih
tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah)
dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka
mengkultuskan sang kiyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan
oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata
melanggar Al Quran dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang
guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah
penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang
sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti
memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan
orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula
Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi
Alloh waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu
pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu
perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah
diberikan Alloh kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya,
atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Alloh, atau pertolongan dari
Alloh terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang
yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah.
Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka
bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah
istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi
menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam
bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru
menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang
lain.
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat
mengetahui hal-hal yang ghaib.
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak
dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Alloh kepada
mereka. Sebagaimana firman Alloh kepada Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam,
“Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang
rezki Alloh, dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50).
Dan firman Alloh: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan
tidak pula (menolak) mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib
tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah
ditimpa kejelekkan”. (Al A’raaf: 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak
manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari
pada takut kepada Alloh, atau meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati
yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan
semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan
kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang kafir
Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para
wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Alloh. Hal inilah
yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Alloh dalam firmannya:
“Ingatlah milik Alloh-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang
mengambil wali (pelindung) selain Alloh berkata: kami tidak menyembah Mereka
melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”.
(Az Zumar: 3).
Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada
Alloh.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Manhaj yang benar dalam
beribadah
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Yang lebih memprihatinkan lagi kalau
bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti
maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur’an atau Isra’
mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah
tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan sholat. Begitu pula dalam
berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan
orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pondasi Islam itu sendiri.
Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tampa membicarakan
masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa
kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi
perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dawah para
rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai
dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam selama itu
pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam
Malik berpesan: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa
yang telah membuat jaya generesi sebelum Mereka”.
Beberapa kesalahan dalam melakukan
ibadah.
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu
belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu
pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara
dalam agama, padahal baca al fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar
gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan,
dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau
sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita
justru belajar kepada siapa saja yang tidak tau dari mana rimbanya. Alloh telah
berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu
tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan
dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (QS Al Israa:
36).
Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang
dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah
hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan
tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah
orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya
fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku
menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari
kemungkaran tapi aku melakukannya”. Na’uzubillah min hadza haal. Alloh telah
berfirman: “Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan
dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak
memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).
Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap
jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu
atau berilmu tapi tidak beramal.
“Ya Alloh tujukilah kami Jalan yang lurus.
Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan
orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al
Fatihah: 6-7).
Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shalAllohu ‘alaihi
wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena
Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut.
Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka
beramal tapi tidak dengan ilmu.
Keutamaan melakukan amalan-amalan
sunnah.
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara keutamaan amalan sunnah adalah
untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya.
Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib
artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam
shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu
pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar
adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al Qur’an sebagaimana yang
dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang
utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa
adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya
dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai
dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka
disini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang
akan kita lakukan.
Ketiga: Tentang sifat Alloh Al Kalam
(berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Kaidah umum dalam beriman kepada nama dan
sifat-sifat Alloh.
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
-
Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shohih.
-
Tidak menyerupakan sifat-sifat Alloh tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
-
Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut sebagai
berikut;
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan
Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Alloh dan
rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir
dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara
yang demikian”. (An Nisaa: 150).
Dan firman Alloh lagi:
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
Kaedah pertama ini juga menunjukkan kepada kita
bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Alloh adalah sebatas adanya nash
dari Al Qu’an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya
sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang
sifat-sifat Alloh.
Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut
berarti ia lebih tahu dari Alloh dan rasul dalam menyampaikan suatu berita,
sehingga ia merubah maksud dari perkataan Alloh dan rasul-Nya. Ini adalah
kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Alloh dan
rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme
(Ahlulkalam).
Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat
Alloh dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Alloh yang Maha
Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Alloh dengan
makhluk adalah kafir. Karena tiada satupun makhluk yang meyerupai Alloh.
Sebagaimana firman Alloh:
“Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”.
(Asy Syura: 11).
Dan firman Alloh: ِ
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana
hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa
mengetahui hakikat sifatnya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah
kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak
bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat denganya yaitu nyawa (ruh)
manusia itu sendiri, tidak ada seorangpun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi
semua orang meyakini bahwa ruh itu ada. tetapi mereka tidak mampu mengetahui
hakikatnya.
Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk
beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan ditunutut untuk mengetahui hakikat
sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya
masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki
gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama
kaki. Begitu pula sayab burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula
sayab burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah
seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat
sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang
Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan
dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarnya tidak seperti pendengaran
makhluk, pendengarannya sesuai dengat zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengar
Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati
seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding.
Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk
berbicara. Ada orang yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya
tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat
tersebut. Pertama ia menyurupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu
ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti
dari semula bahwa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu
ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tampa mesti
memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam sewaktu beliau
di Makkah. Begitu pula nanti diakhiratrkepada nabi tangan dan kaki manusia akan
berbicara menjadi saksi atas perbuatan Mereka tampa ada mulut dan lidah. Oleh
sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut
zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.
Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap
prilaku seorang muslim.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Kata-kata “senantiasa” menunjukkan bahwa
amalan tersebut berkesenambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar’i
“Istiqomah” dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu
dalam hadits lain disebutkan: “Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan
sekalipun sedikit”. Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat
saja, kemudian lalu ditinggalkan.
Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah
dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat pringkat mahabbah dari Allah,
orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi
kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan
‘inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata
seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu
yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno, dsb.
tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermamfaat baik untuk kehidupan dunia
maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al Qur’an atau membaca buku-buku agama
dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, tenik, pertanian dst. Kemudian
Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu
rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakanya untuk kemaslahatan duniawi atau
kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasehat agama atau pelajaran di
kampus dan disekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan
sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaaan, KKN
dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal
yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita
simpulkan disini bahwa amal sholeh dapat menuntun seseorang kepada segala hal
yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari ketejerumusan kepada
kemaksiatan.
Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada
maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut.
Sebagaimana firman Allah:
Sebagaimana firman Allah:
“Maka tatkala Mereka berpaling (dari
kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka”. (Ash shaaf: 5).
Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda
beliau: “Sesungguhnya kejujuran menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya
kebaikan itu menunjukan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku
jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagaia orang yang paling jujur. Dan
sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya
kemaksiata itu menunjukan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa
berbohong samapai dicatat di sisi Allah sebagai seoranga yang paling bohong”.
(HR. Bukhary no: 5743, dan Muslim no: 2607).
Dalam hadits lain: “Sesungguhnya balasan (suatu
amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri”.
Maka jika amalannya baik, maka balasanya pun baik
dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannyapun jelek. Oleh sebab
itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal shaleh adalah amal
shaleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan
diterima disisi Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh keta’atan.
Kekeliruan orang sufi dalam memahami
makna hadits ini.
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa
Allah berkata: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan
memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan
melindunginya”.
Jadi jelas ada disana dua pelaku yaitu hamba yang
meminta dan Allah yang memperkenangkan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang
memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kapadanya. Oleh sebab
itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang bedalil untuk kebatilannya
dengan Al Qur’an atau hadits shohih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri
sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya.
Manhaj ulama dalam memahami nas-nas yang
mutsyabih (meragukan).
Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
Kelima: Balasan yang diberikan Allah
untuk orang yang selalu taat pada Allah.
Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa
para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Alloh. Bukan
kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat disisi
Alloh bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon
perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh
orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret
mereka berbuat syirik kepada Alloh. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa
mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas
pemberian Alloh kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Alloh
dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti
telah menyekutukan mereka dengan Alloh. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh
‘alaihissalam yang telah menjadikan orang-orang sholeh mereka sebagai tempat
perantara dalam berdoa kepada Alloh.
Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali
Alloh, bahwa Alloh selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut
serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan
timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadangkala para
wali Alloh itu juga ditimpa kejelekkan dan penyakit seperti nabi Ayub yang
ditimpa penyakit begitu pula Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam
pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh
serupa baik ditingkat para nabi dan rasul maupun ditinggkat para sahabat dan
Tabi’iin?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:
-
Diantara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
-
Diantara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Alloh, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya”. (HR. At Tirmizy no: 2398).
Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya. -
Diantara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Alloh, dan tidak ada sedikitpun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.
Kekeliruan sebagian orang dalam masalah
berdoa.
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Pertama:
Berdoa merupakan perintah dari Alloh, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir
tentu Alloh tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.
Kedua:
Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan
rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa
sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu
Mereka tidak akan melakukannya apa lagi
menganjurkannya.
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Ketiga: Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Keempat:
Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Alloh ada dua: Takdir
kauniyah dan takdir syar’iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:
Takdir kauniyah
adalah ketentuan Alloh yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti
hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Alloh. Adapun takdir
syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Alloh yang
diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang
dicintai Alloh. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir
kauniyah dengan takdir syar’iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama.
Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khatab: “Kita lari dari takdir
Alloh kepada Takdir Alloh”. Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu
menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak
akan mencari padang rumput yang subur?.
Kelima:
Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Alloh untuk dilakukan, sebagaimana
makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab berarti
ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata
adalah syirik.
Kemudian diantara kesalahan lain dalam berdo’a
adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa
agar Alloh menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Alloh
memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka diantara sikap
wali Alloh adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam
berdoa.
Ringkasan kandungan hadits
wali:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
-
Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
-
Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
-
Tentang sifat Alloh ; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
-
Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
-
Balasan yang diberikan Alloh untuk orang yang selalu taat pada Alloh.
-
Hadits diatas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh yang hak.
-
Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Alloh karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Alloh atau kepada musuh para wali Alloh. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum menjadikan Alloh sebagai wali karena ia mencintai apa yang dibenci Alloh. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.
Wallohu A’lam
bisshawaab
Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.
Langganan:
Postingan (Atom)