Kamis, 14 Maret 2013

Artikel-Artikel Tentang Hadits

As-Sunnah, Wahyu Kedua Setelah Al-Qur`an


Pengertian As-Sunnah
Yang dimaksud As-Sunnah di sini adalah Sunnah Nabi, yaitu segala sesuatu yang bersumber dari Nabi Muhammad berupa perkataan, perbuatan, atau persetujuannya (terhadap perkataan atau perbuatan para sahabatnya) yang ditujukan sebagai syari’at bagi umat ini. Termasuk didalamnya apa saja yang hukumnya wajib dan sunnah sebagaimana yang menjadi pengertian umum menurut ahli hadits. Juga ‘segala apa yang dianjurkan yang tidak sampai pada derajat wajib’ yang menjadi istilah ahli fikih (Lihat Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fil Aqaid wa al Ahkam karya As-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, hal. 11).

As-Sunnah atau Al-Hadits merupakan wahyu kedua setelah Al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah :
“Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur`an dan (sesuatu) yang serupa dengannya.” -yakni As-Sunnah-, (H.R. Abu Dawud no.4604 dan yang lainnya dengan sanad yang shahih, juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam al-Musnad IV/130)
Para ulama juga menafsirkan firman Allah :
“…dan supaya mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan Al-Hikmah” (Al BAqarah ayat 129)
Al-Hikmah dalam ayat tersebut adalah As-Sunnah seperti diterangkan oleh Imam As-Syafi`i, “Setiap kata al-hikmah dalam Al-Qur`an yang dimaksud adalah As-Sunnah.” Demikian pula yang ditafsirkan oleh para ulama yang lain. ( Al-Madkhal Li Dirasah Al Aqidah Al-Islamiyah hal. 24)
As-Sunnah Terjaga Sampai Hari Kiamat
Diantara pengetahuan yang sangat penting, namun banyak orang melalaikannya, yaitu bahwa As-Sunnah termasuk dalam kata ‘Adz-Dzikr’ yang termaktub dalam firman Allah Al-Qur`an surat al-Hijr ayat 9, yang terjaga dari kepunahan dan ketercampuran dengan selainnya, sehingga dapat dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Tidak seperti yang di sangka oleh sebagian kelompok sesat, seperti Qadianiyah (Kelompok pengikut Mirza Ghulam Ahmad al-Qadiani yang mengaku sebagai nabi, yang muncul di negeri India pada masa penjajahan Inggris) dan Qur`aniyun (Kelompok yang mengingkari As-Sunnah, dan hanya berpegang pada Al-Qur’an), yang hanya mengimani (meyakini) Al-Qur`an namun menolak As-Sunnah. Mereka beranggapan salah (dari sini nampak sekali kebodohan mereka akan Al Qur’an, seandainya mereka benar-benar mengimani Al Qur’an sudah pasti mereka akan mengimani As-Sunnah, karena betapa banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan untuk mentaati Rasulullah yang sudah barang tentu menunjukkan perintah untuk mengikuti As-Sunnah) tatkala mengatakan bahwa As-Sunnah telah tercampur dengan kedustaan manusia; tidak lagi bisa dibedakan mana yang benar-benar As-Sunnah dan mana yang bukan. Sehingga, mereka menyangka, setelah wafatnya Rasulullah , kaum muslimin tidak mungkin lagi mengambil faedah dan merujuk kepada as-Sunnah.( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi Al Aqaid wal Ahkam hal. 16)
Dalil-dalil yang Menunjukkan Terpeliharanya As-Sunnah:
Pertama:
Firman Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Adz-Dzikr, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya.” (Q.S. Al-Hijr:9)
Adz-Dzikr dalam ayat ini mencakup Al-Qur’an dan –bila diteliti dengan cermat- mencakup pula As-Sunnah.
Sangat jelas dan tidak diragukan lagi bahwa seluruh sabda Rasulullah yang berkaitan dengan agama adalah wahyu dari Allah sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan tiadalah yang diucapkannya (Muhammad) itu menurut kemauan hawa nafsunya.” (Q.S. An-Najm:3)
Tidak ada perselisihan sedikit pun di kalangan para ahli bahasa atau ahli syariat bahwa setiap wahyu yang diturunkan oleh Allah merupakan Adz-Dzikr. Dengan demikian, sudah pasti bahwa yang namanya wahyu seluruhnya berada dalam penjagaan Allah; dan termasuk di dalamnya As-Sunnah.
Segala apa yang telah dijamin oleh Allah untuk dijaga, tidak akan punah dan tidak akan terjadi penyelewengan sedikitpun. Bila ada sedikit saja penyelewengan, niscaya akan dijelaskan kebatilan penyelewengan tersebut sebagai konsekuensi dari penjagaan Allah. Karena seandainya penyelewengan itu terjadi sementara tidak ada penjelasan akan kebatilannya, hal itu menunjukkan ketidak akuratan firman Allah yang telah menyebutkan jaminan penjagaan. Tentu saja yang seperti ini tidak akan terbetik sedikitpun pada benak seorang muslim yang berakal sehat.
Jadi, kesimpulannya adalah bahwa agama yang dibawa oleh Muhammad ini pasti terjaga. Allah sendirilah yang bertanggung jawab menjaganya; dan itu akan terus berlangsung hingga akhir kehidupan dunia ini ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 16-17)
Kedua:
Allah menjadikan Muhammad sebagai penutup para nabi dan rasul, serta menjadikan syari’at yang dibawanya sebagai syari’at penutup. Allah memerintahkan kepada seluruh manusia untuk beriman dan mengikuti syari’at yang dibawa oleh Muhammad sampai Hari Kiamat, yang hal ini secara otomatis menghapus seluruh syari’at selainnya. Dan adanya perintah Allah untuk menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjadikan syariat agama Muhammad tetap abadi dan terjaga. Adalah suatu kemustahilan, Allah membebani hamba-hamba-Nya untuk mengikuti sebuah syari’at yang bisa punah. Sudah kita maklumi bahwa dua sumber utama syari’at Islam adalah Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka bila Al-Qur’an telah dijamin keabadiannya, tentu As-Sunnah pun demikian ( Al-Hadits Hujjatun bi Nafsihi fi al Aqaid wa Al Ahkam, karya Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal. 19-20)
Ketiga:
Seorang yang memperhatikan perjalanan umat Islam, niscaya ia akan menemukan bukti adanya penjagaan As-Sunnah. Diantaranya sebagai berikut (Al Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah, hal. 25):
(a) Perintah Nabi kepada para sahabatnya agar menjalankan As-Sunnah.
(b) Semangat para sahabat dalam menyampaikan As-Sunnah.
(c) Semangat para ulama di setiap zaman dalam mengumpulkan As-Sunnah dan menelitinya sebelum mereka menerimanya.
(d) Penelitian para ulama terhadap para periwayat As-Sunnah.
(e) Dibukukannya Ilmu Al Jarh wa At Ta’dil.( Ilmu yang membahas penilaian para ahli hadits terhadap para periwayat hadits, baik berkaitan dengan pujian maupun celaan, Pen.)
(f) Dikumpulkannya hadits–hadits yang cacat, lalu dibahas sebab-sebab cacatnya.
(g) Pembukuan hadits-hadits dan pemisahan antara yang diterima dan yang ditolak.
(h) Pembukuan biografi para periwayat hadits secara lengkap.
Wajib merujuk kepada As-Sunnah dan haram menyelisihinya
Pembaca yang budiman, sudah menjadi kesepakatan seluruh kaum muslimin pada generasi awal, bahwa As-Sunnah merupakan sumber kedua dalam syari’at Islam di semua sisi kehidupan manusia, baik dalam perkara ghaib yang berupa aqidah dan keyakinan, maupun dalam urusan hukum, politik, pendidikan dan lainnya. Tidak boleh seorang pun melawan As-Sunnah dengan pendapat, ijtihad maupun qiyas. Imam Syafi’i rahimahullah di akhir kitabnya, Ar-Risalah berkata, “Tidak halal menggunakan qiyas tatkala ada hadits (shahih).” Kaidah Ushul menyatakan, “Apabila ada hadits (shahih) maka gugurlah pendapat”, dan juga kaidah “Tidak ada ijtihad apabila ada nash yang (shahih)”. Dan perkataan-perkataan di atas jelas bersandar kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Perintah Al-Qur`an agar berhukum dengan As-Sunnah
Di dalam Al-Qur’an banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk berhukum dengan As-Sunnah, diantaranya:
1. Firman Allah :
“Dan tidaklah patut bagi laki-laki maupun perempuan mu’min, apabila Allah dan Rasul-Nya menetapkan suatu ketetapan dalam urusan mereka, mereka memilih pilihan lain. Barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, sungguh, dia telah nyata-nyata sesat.” (Q.S. Al Ahzab: 36)
2. Firman Allah :
“Wahai orang-orang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. 49:1)
3. Firman Allah :
“Katakanlah, ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya! Jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.” (Q.S. Ali Imran: 32)
4. Firman Allah :
“Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; janganlah kamu berbantah-bantahan, karena akan menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (Q.S. Al Anfal: 46)
5. Firman Allah :
“Barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang ia kekal di dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya dan mendapatkan siksa yang menghinakan.” (Q.S. An Nisa’: 13-14)
Hadits-hadits yang memerintahkan agar mengikuti Nabi dalam segala hal diantaranya:
1. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Setiap umatku akan masuk Surga, kecuali orang yang engan,” Para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulallah, siapakah orang yang enggan itu?’ Rasulullah menjawab, “Barangsiapa mentaatiku akan masuk Surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku dialah yang enggan”. (HR.Bukhari dalam kitab al-I’tisham) (Hadits no. 6851).
2. Abu Rafi’ mengatakan bahwa Rasulullah bersabda :
“Sungguh, akan aku dapati salah seorang dari kalian bertelekan di atas sofanya, yang apabila sampai kepadanya hal-hal yang aku perintahkan atau aku larang dia berkata, ‘Saya tidak tahu. Apa yang ada dalam Al-Qur`an itulah yang akan kami ikuti”, (HR Imam Ahmad VI/8 , Abu Dawud (no. 4605), Tirmidzi (no. 2663), Ibnu Majah (no. 12), At-Thahawi IV/209).
3. Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah bersabda:
“Aku tinggalkan dua perkara untuk kalian. Selama kalian berpegang teguh dengan keduanya tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnahku. Dan tidak akan terpisah keduanya sampai keduanya mendatangiku di haudh (Sebuah telaga di surga, Pen.).” (HR. Imam Malik secara mursal (Tidak menyebutkan perawi sahabat dalam sanad) Al-Hakim secara musnad (Sanadnya bersambung dan sampai kepada Rasulullah ) – dan ia menshahihkannya-) Imam Malik dalam al-Muwaththa’ (no. 1594), dan Al-HakimAl Hakim dalam al-Mustadrak (I/172).
Kesimpulan :
1. Tidak ada perbedaan antara hukum Allah dan hukum Rasul-Nya, sehingga tidak diperbolehkan kaum muslimin menyelisihi salah satu dari keduanya. Durhaka kepada Rasulullah berarti durhaka pula kepada Allah, dan hal itu merupakan kesesatan yang nyata.
2. Larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Rasulullah sebagaimana kerasnya larangan mendahului (lancang) terhadap hukum Allah.
3. Sikap berpaling dari mentaati Rasulullah merupakan kebiasaan orang-orang kafir.
4. Sikap rela/ridha terhadap perselisihan, -dengan tidak mau mengembalikan penyelesaiannya kepada As-Sunnah- merupakan salah satu sebab utama yang meruntuhkan semangat juang kaum muslimin, dan memusnahkan daya kekuatan mereka.
5. Taat kepada Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang ke dalam Surga; sedangkan durhaka dan melanggar batasan-batasan (hukum) yang ditetapkan oleh Nabi merupakan sebab yang memasukkan seseorang kedalam Neraka dan memperoleh adzab yang menghinakan.
6. Sesungguhnya Al-Qur`an membutuhkan As-Sunnah (karena ia sebagai penjelas Al-Qur’an); bahkan As-Sunnah itu sama seperti Al-Qur`an dari sisi wajib ditaati dan diikuti. Barangsiapa tidak menjadikannya sebagai sumber hukum berarti telah menyimpang dari tuntunan Rasulullah
7. Berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah akan menjaga kita dari penyelewengan dan kesesatan. Karena, hukum-hukum yang ada di dalamnya berlaku sampai hari kiamat. Maka tidak boleh membedakan keduanya.
Referensi:
1. Al-Hadits Hujjatun bi nafsihi fil Aqaid wa Al Ahkam, karya as-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. III/1400 H, Ad-Dar As-Salafiyah, Kuwait.
2. Al-Madkhal li Ad Dirasah Al Aqidah Al Islamiyah ‘ala Madzhab Ahli As Sunnah, karya Dr. Ibrahim bin Muhammad Al-Buraikan, penerbit Dar As-Sunnah, cet. III.
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah Fatawa

Kewajiban Mengikuti Syari’at dan Larangan Melakukan Bid‘ah


Dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- berkata, Rasulullah bersabda, “Barangsiapa mengada-adakan (perkara baru) dalam urusan (agama) kami ini, maka hal itu tertolak.” Dalam riwayat yang lain –Rasulullah- bersabda, “Barangsiapa mengerjakan suatu amalan tanpa ada dasar dari urusan (agama) kami, maka ia tertolak.”
TAKHRIJ HADITS RINGKAS
Lafal yang pertama diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no. 2550) dan Muslim (hadits no. 1718). Sedangkan lafal yang kedua diriwayatkan oleh Muslim (hadits no. 1718), sedangkan Bukhari menyebutkannya dalam salah satu bab dalam Shahih-nya di juz ke-6 halaman 2675.

BIOGRAFI PERIWAYAT HADITS ‘AISYAH –radhiyallahu ‘anha-
Ia adalah ‘Aisyah putri khalifah-Rasulullah Abu Bakar (Abdullah) bin Abu Quhafah (Utsman) bin ‘Amir bin ‘Amr, dari Bani Taim keturunan suku Quraisy. Ibunya bernama Ummu Ruman binti Amir bin ‘Uwaimir Al-Kinaniyah.
Ia lahir pada tahun ke-4 atau ke-5 dari kerasulan Nabi. Pada usia 6 atau 7 tahun ia dinikahi oleh Rasulullah setelah istri beliau yang pertama, Khadijah binti Khuwailid, wafat, tepatnya 2 atau 3 tahun sebelum beliau hijrah ke Madinah. Rasulullah baru hidup serumah dengannya ketika dia berusia 9 tahun, yaitu pada bulan Syawwal tahun ke-2 H sepulangnya beliau dari Perang Badar Kubra. Sebagai istri Rasulullah, ia pun mendapat sebutan Ummul Mu’minin. Ia merupakan isteri yang paling utama dan paling dicintai oleh Rasulullah dibandingkan dengan istri-istri beliau yang lain selain Khadijah –radhiyallahu ‘anha- (karena ada perbedaan pendapat dalam hal siapakah yang lebih utama antara ‘Aisyah dan Khadijah). Dan ketika Rasulullah wafat, usianya baru mencapai 18 tahun.
Kun-yah-nya adalah Ummu Abdillah, nisbat kepada Abdullah bin az-Zubair (bin Al-‘Awwam), anak Asma’–kakaknya seayah–. Semenjak menjadi pendamping Rasulullah, dia sekaligus menjadi murid beliau. Dia banyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah, bahkan dia termasuk di antara tujuh sahabat yang paling banyak meriwayatkan hadits dari Nabi. Sedangkan di kalangan wanita, secara mutlak dia adalah wanita yang paling fakih dalam hal agama.
‘Aisyah juga digelari Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq. Ia mendapat pembelaan dari Allah ketika difitnah telah berbuat tidak senonoh dengan salah seorang sahabat Nabi yang bernama Shafwan bin Mu’aththal yang dikenal sebagai kisah al-Ifki dan Allah mengabadikan pembelaan-Nya terhadap ‘Aisyah dalam surat An-Nur ayat 11 dan beberapa ayat sesudahnya.
Banyak sekali keutamaan-keutamaan yang disandang oleh Ummul Mu’minin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-. Salah satunya adalah yang tersebut di dalam satu hadits yang shahih dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa Rasulullah pernah berkata, “Keutamaan Aisyah atas para wanita yang lain bagai keutamaan tsarid (bubur daging) atas jenis makanan yang lain.” Diriwayatkan oleh Bukhari (hadits no 3558 dan lainnya) dan Muslim (hadits no. 2431 dan 2446)
Ia wafat pada malam Selasa tanggal 17 Ramadhan tahun 57 atau 58 H, dan dimakamkan di pemakaman Baqi’. Lihat biografinya dalam Al-Ishabah (VIII/16), Al-Isti’ab (IV/1881), Siyar A’lam An-Nubala (II/135), Taqrib At-Tahdzib (I/750), Ats-Tsiqat (III/3230) dan kitab-kitab biografi lainnya. –Radhiyallahu ‘anha wa ardhaha-
MAKNA KATA DAN KALIMAT
(أَحْدَثَ)
bermakna (اِخْتَرَعَ = membuat/menciptakan –sesuatu yang baru-) Lihat Fathul Bari (V/357), cet. Dar Ar-Rayyan li At-Turots, Kairo, th. 1407 H.
(أَمْرُِنَا) maknanya adalah (دِيْننَا = agama kami) atau (شَرْعُنَا = syariat kami) Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163), cet. Daar Ibnu Al-Jauzi, Dammam-KSA, th. 1415 H.
(رَدٌّ) maknanya (مَرْدُوْدٌ = tertolak/tidak diterima) Lihat Fathul Bari (V/357); dan Syarah Shahih Muslim (XII/15) cet. Daar Al-Kutub Al-‘Ilmiyyah, Beirut, th. 1415 H.
Jadi, makna hadits di atas adalah bahwa siapa saja yang memunculkan atau membuat suatu perkara baru dalam agama atau syariat ini yang tidak ada asal atau dasar darinya, maka perkara itu tertolak. Secara tekstual hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak ada dasarnya dari syariat berarti amalan tersebut tertolak. Dan secara kontekstual menunjukkan bahwa setiap amalan yang ada dasarnya dari syariat berarti tidak tertolak atau dengan kata lain bahwa amalan tersebut diterima. Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/163) dan Qawaid wa Fawaid (hal. 76).
Lafal yang kedua lebih umum dari yang pertama Lihat Fathul Bari (V/357)., dan di dalamnya terkandung tambahan makna, yaitu bahwa bila ada seseorang yang melakukan bid‘ah yang sudah ada sebelumnya lalu mengatakan, “Saya tidak mengadakan perkara baru,” maka perkataannya tersebut terbantahkan oleh lafal yang kedua yang secara jelas menolak segala bid‘ah yang dibuat-buat, baik yang baru diadakan maupun yang sudah dibuat sebelumnya. Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15).
KEDUDUKAN HADITS Lihat Qawaid wa Fawaid (hal. 75).
Ibnu Hajar berkata, “Hadits ini termasuk di antara pokok-pokok serta kaidah landasan ajaran agama Islam.” Lihat Fathul Bari (V/357).
Imam An-Nawawi berkata, “Hadits ini termasuk di antara –hadits-hadits- yang patut dihapal (dijaga), digunakan untuk memberantas segala kemungkaran, serta patut untuk disebarkan dalam berdalil dengannya.” Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15).
Ath-Thuruqi berkata, “Hadits ini pantas disebut sebagai separuh dalil-dalil syariat karena yang dituntut dalam berdalil adalah menetapkan hukum atau menampiknya, dan hadits ini adalah kunci terbesar dalam menetapkan atau menampik setiap hukum syariat.” Lihat Fathul Bari (V/357).
Ibnu Rajab berkata, “Dan hadits ini merupakan landasan yang agung di antara landasan-landasan ajaran Islam dan ia merupakan timbangan bagi amalan lahir. Sebagaimana bahwa hadits(اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ) Telah dibahas dalam majalah Fatawa volume 1 dan 2 tahun I.
adalah timbangan bagi amalan batin.” Lihat Jami’ Al-‘Ulum wal Hikam (I/162).
FAEDAH-FAEDAH
Hadits ini termasuk di antara perkataan-perkataan Nabi yang singkat namun padat isinya (Jawami’ul Kalim) Lihat Syarah Shahih Muslim (XII/15)..
Banyak faedah yang dapat kita ambil darinya, dan yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Kewajiban Mengikuti Syariat dalam Beragama
Secara kontekstual (tersirat) hadits ini mengandung makna bahwa dalam menjalankan agama, baik dalam masalah aqidah, ibadah, akhlaq, muamalah, maupun yang lainnya, kita wajib untuk mengikuti syariat yang Allah turunkan kepada Nabi yang termuat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan wajib pula mengembalikan segala permasalahan kepada keduanya. Banyak dalil yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah dalil-dalil berikut :
a. Dari Al-Qur’an
Firman Allah :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunnah-nya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari akhir. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. An-Nisa’:59)
Firman Allah :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah.” (Q.S. Al-Hasyr:7)
b. Dari As-Sunnah
Sabda Nabi :
“Telah kutinggalkan untuk kalian dua perkara yang (selama kalian berpegang teguh dengan keduanya) kalian tidak akan tersesat, yaitu Kitabullah dan Sunnah-ku.” Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149). Diriwayatkan oleh Hakim (I/172), dan Daruquthni (hadits no. 149).
sabda Nabi dalam hadits Al-‘Irbadh bin Sariyah :
“Berpegangteguhlah kalian dengan Sunnah-ku dan sunnah para Khulafa Rasyidin yang mendapat petunjuk (setelahku).”
2. Larangan Mengadakan Bid‘ah dalam Agama
Adapun secara tekstual (tersurat), hadits ini menunjukkan bahwa setiap bid‘ah yang diada-adakan dalam agama tidaklah memiliki dasar dari Al-Qur’an ataupun As-Sunnah.
Ibnu Hajar berkata, “Dan (hadits ini) mengandung penolakan terhadap segala perkara (bid‘ah) yang diada-adakan dan bahwa larangan di sini menunjukkan –bahwa perkara tersebut- batil karena segala perkara yang dilarang bukanlah termasuk bagian dari (perkara urusan) agama sehingga wajib untuk ditolak.”
Bid‘ah pada hakikatnya adalah ‘sesuatu (yang baru) yang diada-adakan dalam agama yang menandingi cara yang –telah- disyari’atkan dengan tujuan agar mendapat nilai lebih dalam beribadah kepada Allah. Padahal kita telah diperintahkan untuk ber-ittiba’ (mengikuti syariat yang dibawa oleh Rasul ) dan dilarang untuk melakukan bid‘ah karena agama Islam ini telah sempurna sehingga sudah cukup dengan apa yang disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan yang telah diterima oleh Ahlussunnah wal Jama’ah dari generasi sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Mukhtarat Majmu’ Fatawa Syaikh Bin Baz (hal.271), cet. Jam’iyyah Ihya At-Turots, th. 1418 H.
Maka seorang yang membuat atau melakukan bid‘ah berarti telah berbuat lancang terhadap Allah sebagai pemilik tunggal hak dalam hal membuat syariat. Dan seolah-olah dia mengatakan bahwa syariat ini belum sempurna, dan bahwasanya masih ada sesuatu yang harus atau perlu ditambah atau dikoreksi karena kalau dia meyakini akan kesempurnaan syariat dari segala sisinya, niscaya dia tidak akan berbuat bid‘ah dan tidak akan menambah atau mengoreksinya.
Ibnu Al-Majisun berkata, aku mendengar Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang berbuat bid‘ah dalam Islam dan dia memandangnya baik, berarti dia telah menganggap bahwa Muhammad telah mengkhianati risalah (yakni tidak menyampaikannya secara sempurna), karena Allah telah berfirman:
“Pada hari ini telah Kusempurnakan untukmu agamamu.” (Q.S. Al-Maidah:3)
Maka apa yang pada hari itu (masa nabi) bukan merupakan agama, berarti bukan pula merupakan agama pada hari ini.” Lihat Al-I’tisham (1/64) cet. Daar Ibnu ‘Affan, Khubar-KSA, th. 1418 H, dan lihat juga risalah Al-Bid‘ah Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal. 10).
3. Macam-macam Bid‘ah
Melihat kepada jenisnya, bid‘ah itu terbagi menjadi dua, yaitu:
a. Bid‘ah haqiqiyyah, yaitu bid‘ah yang tidak ada satu pun dalil syar’i yang menunjukkannya. Tidak dari Kitab, Sunnah maupun ijma’, seperti mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram, mengadakan peryaan maulud nabi dan tahun baru.
b. Bid‘ah idhafiyyah, yaitu memasukkan ke dalam syari’at sesuatu yang bersumber dari diri si pelaku bid‘ah sehingga mengeluarkan syari’at dari asal karena sebab penambahan yang dilakukan si pembuat bid‘ah yang dari satu sisi disyari’atkan tetapi si pelaku bid‘ah memasukkan ke dalamnya sesuatu yang bersumber dari dirinya sehingga mengeluarkannya dari asal disyari’atkannya, karena perbuatan si pelaku bid‘ah tadi. Kebanyakan bid‘ah yang tersebar di tengah-tengah masyarakat adalah dari jenis ini. Seperti shaum (puasa), ia adalah ibadah yang disyari’atkan, namun bila seseorang mengatakan, “Saya akan berpuasa sambil berdiri dan tidak akan duduk di terik matahari dan tidak akan berteduh,” maka (tambahan persyaratan yang ia tetapkan itulah bid‘ahnya sehingga puasa yang pada awalnya disyari’atkan menjadi tidak disyari’atkan dikarenakan bid‘ah yang ia tambahkan dalam puasa tersebut). Jadilah dia telah berbuat bid‘ah Lihat Al-Bid‘ah Dhawabithuha wa Atsaruha As-Sayyi’ fil Ummah (hal. 14-15) dan lihat juga pembahasan ini dalam Al-I’tisham (1/367).
Dan dari sisi objeknya, bid‘ah tersebut bisa terjadi dalam semua perkara agama, diantaranya :
Dalam aqidah, seperti bid‘ahnya kelompok-kelompok sesat semisal Khawarij Kelompok yang keluar dari kepempinan Khalifah Ali bin Abi Thalib. Rafidhah (Sekte Syi’ah yang amat melampaui batas, yang diantaranya mengatakan bahwa para sahabat Nabi telah merubah dan mengurangi Al-Qur’an :
a. Jahmiyyah Kelompok pengikut Jahm bin Shafwan, yang diantaranya mengatakan bahwa Al-Qur’an itu makhluk., dan yang lainnya.
b. Dalam ibadah, seperti berdzikir dengan tatacara dan bentuk tertentu dan dilakukan secara berjama’ah serta satu suara (koor).
c. Dalam Mu’amalah, seperti menikahi wanita yang haram dinikahi, baik karena adanya hubungan nasab, satu susuan atau yang lainnya.
Adapun dari sisi akibatnya dapat dibagi dua, yaitu:
a. Bid‘ah mukaffirah, yaitu yang dapat menyebabkan pelakunya jatuh dalam kekafiran yang mengeluarkannya dari Islam.
b. Bid‘ah mufassiqah, yaitu yang pelakunya dihukumi dengan kefasikan atau dalam kategori kemaksiatan, tidak mengeluarkannya dari Islam.
Catatan :
Seorang penuntut ilmu hendaknya berhati-hati dan jangan terburu-buru menolak atau tidak menerima suatu amalan lalu berdalil dengan hadits ini, hendaknya dia melihat dulu perkataan para ulama tentang masalah tersebut, memperhatikan batasan-batasan (dhawabith) dan kaidah-kaidah (ushul) yang dengan itu semua dia bisa menghukumi apakah memang amalan tersebut tertolak dan tidak diterima.
Kesimpulan :
1. Islam adalah agama yang sempurna sehingga tidak butuh kepada penambahan, pengurangan atau koreksi.
2. Mengikuti syari’at (ittiba’) merupakan salah satu syarat diterimanya amal ibadah seseorang.
3. Bid‘ah merupakan salah satu pembatal amal ibadah seseorang dan dapat menjerumuskannya dalam kesesatan.
-Wallahu A’lam bish-shawab-

Hadits Hudzaifah Rodhiallohu Ta’ala ‘Anhu


[Tulisan ini disadur dan diringkas dari kutaib yang berjudul “Qaulul Mubin fi Jama’atil Muslimin” karangan Syaikh Salim bin ‘Ied Al-Hilali, Penerbit Maktab Islamy Riyadh tanpa tahun, dan dimuat di majalah As-Sunnah edisi 07/1/1414-1993 hal. 8-13, diambil dari situs www.assunnah.or.id]
NASH HADITS
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai - dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
MAKNA HADITS
Pertama, Mengenali Sabilul Mujrimin adalah kewajiban Syar’i.
Perlu diketahui bahwa Manhaj Rabbani yang abadi yang tertuang dalam uslub Qurani yang diturunkan ke hati Penutup Para Nabi tersebut tidak hanya mengajarkan yang haq saja untuk mengikuti jejak orang-orang beriman (Sabilul Mu’minin). Akan tetapi juga membuka kedok kebatilan dan menyingkap kekejiannya supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin).
Alloh berfirman,
“Dan demikianlah, kami jelaskan ayat-ayat, supaya jelas jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa”. (QS Al-An’am: 55)
Yang demikian itu karena istibanah (kejelasan) jalannya orang-orang yang suka berbuat dosa (Sabilul Mujrimin) secara langsung berakibat pada jelasnya pula Sabilul Mu’minin. Oleh karena itu istibanah (kejelasan) Sabilul Mujrimin merupakan salah satu sasaran dari beberapa sasaran penjelasan ayat-ayat Rabbani. Karena ketidakjelasan Sabilul Mujrimin akan berakibat langsung pada keraguan dan ketidakjelasan Sabilul Muminin. Oleh karena itu, menyingkap rahasia kekufuran dan kekejian adalah suatu kebutuhan yang sangat mendesak untuk menjelaskan keimanan, kebaikan dan kemaslahatan. Ada sebagian cendikiawan syair menyatakan.
“Aku kenali keburukan tidak untuk berbuat buruk, akan tetapi untuk menjaga diri”
“Barang siapa yang tidak dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan, maka akan terjerumus ke dalamnya”
Hakikat inilah yang dimengerti oleh generasi pertama umat ini -Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu. Maka ia berkata, “Manusia bertanya kepada Rosululloh tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya tentang keburukan, karena khawatir akan terjebak di dalamnya”.
Kedua, Kekokohan Kita Dihancurkan dari Dalam
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda berkenan dengan keinginan kaum kafir untuk membinasakan kaum muslimin dan Islam, seperti yang dinyatakan dalam hadits Tsaubah rodhiallohu ‘anhu bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Nyaris orang-orang kafir menyerbu dan membinasakan kalian seperti menyerbu makanan di atas piring. Berkata seseorang: Apakah karena sedikitnya kami waktu itu? Beliau bersabda: Bahkan kalian pada waktu itu banyak sekali, akan tetapi kamu seperti buih di atas air. Dan Alloh mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian serta menjangkitkan di dalam hatimu penyakit wahn. Seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, apakah wahn itu? Beliau bersabda: Mencintai dunia dan takut mati”. (Riwayat Abu Dawud no. 4297. Ahmad V/278. Abu Na’im dalam Al-Hilyah)
Dari hadits di atas dapat disimpulkan bahwa. Pertama, Kaum kafir saling menghasung untuk menjajah Islam, negeri-negerinya serta penduduknya. Kedua, Negeri-negeri muslimin adalah negeri-negeri sumber kebaikan dan barakah yang mengundang air liur kaum kafir untuk menjajahnya. Ketiga, kaum kafir mengambil potensi alam negeri muslimin tanpa rintangan dan halangan sedikit pun. Keempat, kaum kafir tidak lagi gentar terhadap kaum Muslimin karena rasa takut mereka kepada kaum Muslimin sudah dicabut Alloh dari dalam hati mereka. Padahal pada mulanya Alloh menjanjikan kepada kaum Muslimin dalam firman-Nya,
“Akan kami jangkitkan di dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan mereka mempersekutukan Alloh, di mana Alloh belum pernah menurunkan satu alasan pun tentangnya”. (QS Ali Imran: 151)
Dan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda artinya, “Aku diberi lima perkara yang belum pernah diberikan kepada seorang nabi pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa ketakutan dengan jarak satu bulan perjalanan; dan dijadikan bumi untukmu sebagai tempat sujud ; …. dan seterusnya”. (Riwayat Bukhari, lihat Fathul Bari I/436. Muslim dalam Nawawi V/3-4 dari Jabir bin Abdullah rodhiallohu ‘anhu)
Akan tetapi kekhususan tersebut dibatasi oleh sabda beliau ShallAllohu ‘alaihi wa sallam dalam hadits Tsauban yang lalu, yang menyatakan, “Alloh akan mencabut rasa takut musuh-musuhmu terhadap kalian …”.
Dari hadits ini mengertilah kita bahwa kekuatan umat Islam bukanlah terletak pada jumlah dan perbekalannya, atau pada artileri dan logistiknya. Akan tetapi kekuatannya terletak pada aqidahnya. Seperti yang kita saksikan ketika beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab pertanyaan yang berkenan dengan jumlah, maka beliau jawab, “Bahkan ketika itu kalian banyak sekali, akan tetapi kalian seperti buih di atas aliran air”. Kemudian apa yang menjadikan “pohon yang akarnya menghujam ke bumi dan cabangnya menjulang ke langit” itu seperti buih yang mengambang di atas air?
Sesungguhnya racun yang meluruhkan kekuatan kaum muslimin dan melemahkan gerakannya serta merenggut barokahnya bukanlah senjata dan pedang kaum kafir yang bersatu untuk membuat makar terhadap Islam, para pemeluknya dan negeri-negerinya. Akan tetapi adalah racun yang sangat keji yang mengalir dalam jasad kaum muslimin yang disebut oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam sebagai “Dakhanun”. Ibnu Hajar dalam Fathul Bari XIII/36 mengartikannya dengan hiqd (kedengkian), atau daghal (pengkhianatan dan makar), atau fasadul qalb (kerusakan hati). Semua itu mengisyaratkan bahwa kebaikan yang datang setelah keburukan tersebut tidak murni, akan tetapi keruh. Dan Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim XII/236-237, mengutip perkataan Abu ‘Ubaid yang menyatakan bahwa arti dakhanun adalah seperti yang disebut dalam hadits lain, “Tidak kembalinya hati pada fungsi aslinya”. (Riwayat Abu Dawud no. 4247)
Sedangkan makna aslinya adalah apabila warna kulit binatang itu keruh/suram. Maka seakan-akan mengisyaratkan bahwa hati mereka tidak bening dan tidak mampu membersihkan antara yang satu dengan yang lain. Kemudian berkata Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah XV/15: Bahwa sabda beliau: “Dan di dalamnya ada Dakhanun, yakni tidak ada kebaikan murni, akan tetapi di dalamnya ada kekeruhan dan kegelapan”. Adapun Al ‘Adzimul Abadi dalam ‘Aunil Ma’bud XI/316 menukil perkataan Al Qari yang berkata: “Asal kata dakhanun adalah kadurah (kekeruhan) dan warna yang mendekati hitam. Maka hal ini mengisyaratkan bahwa kebaikan tersebut tercemar oleh kerusakan (fasad)”.
Dan sesungguhnya penanam racun yang keji dan menjalar di kalangan umat ini tidak lain adalah oknum-oknum dari dalam sendiri. Seperti yang dinyatakan Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam: “Mereka adalah dari kalangan bangsa kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Berkata Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XIII/36: “Yakni dari kaum kita, berbahasa seperti kita dan beragama dengan agama kita. Ini mengisyaratkan bahwa mereka adalah bangsa Arab”. Sedangkan Al Qabisi menyatakan -seperti dinukil oleh Ibnu Hajar- secara lahir maknanya adalah bahwa mereka adalah pemeluk dien (agama) kita, akan tetapi batinnya menyelisihi. Dan kulit sesuatu adalah lahirnya, yang pada hakikatnya berarti penutup badan. Mereka mempunyai sifat seperti yang dikatakan dalam hadits riwayat Muslim yang artinya “Akan ada di kalangan mereka orang yang berhati iblis dengan jasad manusia” (Riwayat Muslim)
Yakni mereka memberikan harapan-harapan kepada manusia berupa mashalih (pembangunan), siyadah (kepemimpinan) dan istiqlal (kemerdekaan dan kebebasan) .. dan umat merasa suka dengan propaganda mereka. Untuk itu mereka mengadakan pertemuan-pertemuan, muktamar-muktamar dan diskusi-diskusi. Oleh sebab itu mereka diberi predikat sebagai dai atau du’at -dengan dlamah pada huruf dal- merupakan bentuk jamak dari da’a yang berarti sekumpulan orang yang melazimi suatu perkara dan mengajak serta menghasung manusia untuk menerimanya. (Lihat ‘Aunil Ma’bud XI/317).
Ketiga, Jamaah minal Muslimin dan bukan Jamaah Muslimin/’Umm.
Kalau kita mengamati kenyataan, maka kita akan melihat bahwa faham hizbiyah (kelompok) telah mengalir di dalam otak sebagian besar kelompok yang menekuni medan dakwah ilalloh, di mana seolah-olah tidak ada kelompok lain kecuali kelompoknya, dan menafikan kelompok lain di sekitarnya. Persoalan ini terus berkembang, sehingga ada sebagian yang mendakwahkan bahwa merekalah Jama’ah Muslimin/Jamaah ‘Umm (Jama’ah Induk) dan pendirinya adalah imam bagi seluruh kaum muslimin, serta mewajibkan berbaiat kepadanya. Selain itu mereka mengkafirkan sawadul a’dzam (sebagian besar) muslimin, dan mewajibkan kelompok lain untuk bergabung dengan mereka serta berlindung di bawah naungan bendera mereka.
Kebanyakan mereka lupa, bahwa mereka bekerja untuk mengembalikan kejayaan Jamaatul Muslimin. Kalaulah Jamaatul Muslimin dan imam-nya itu masih ada, maka tidaklah akan terjadi ikhtilaf dan perpecahan ini di mana Alloh tidak menurunkan sedikit pun keterangan tentangnya.
Sebenarnya para pengamal untuk Islam itu adalah Jamaah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai imam yang melaksanakan hukum-hukum Alloh. Adapun jamaah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rohimahulloh dalam Fathul Bari XII/37 menukil perkataan Imam Thabari rohimahullo h yang menyatakan: “Berkata kaum (yakni para ulama), bahwa Jamaah adalah Sawadul A’dzam. Kemudian diceritakan dari Ibnu Sirin dari Abi Mas’ud, bahwa beliau mewasiatkan kepada orang yang bertanya kepadanya ketika ‘Utsman dibunuh, untuk berpegang teguh pada Jamaah, karena Alloh tidak akan mengumpulkan umat Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam dalam kesesatan. Dan dalam hadits dinyatakan bahwa ketika manusia tidak mempunyai imam, dan manusia berpecah belah menjadi kelompok-kelompok maka janganlah mengikuti salah satu firqah. Hindarilah semua firqah itu jika kalian mampu untuk menghindari terjatuh ke dalam keburukan”.
Keempat, menjauhi semua firqah
Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!
Kelima, jalan penyelesaiannya
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada Hudzaifah untuk menjauhi semua firqah yang menyeru dan menjerumuskan ke neraka Jahanam, dan supaya memegang erat-erat pokok pohon (ashlu syajarah) hingga ajal menjemputnya sedangkan ia tetap dalam keadaan seperti itu. Dari pernyataan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam tersebut dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.
Pertama, bahwa pernyataan itu mengandung perintah untuk melazimi Al Kitab dan As-Sunnah dengan pemahaman Salafuna Shalih. Hal ini seperti yang diisyaratkan dalam hadits riwayat ‘Irbadh Ibnu Sariyah yang artinya “Barang siapa yang masih hidup di antara kalian maka akan melihat perselisihan yang banyak. Dan waspadalah terhadap perkara-perkara yang diada-adakan karena hal itu sesat. Dan barang siapa yang menemui yang demikian itu, maka berpegang teguhlah pada sunnahku dan sunnah khulafa’ur rasyidin. Gigitlah ia dengan geraham-geraham kalian”. (Riwayat Abu Dawud no. 4607, Tirmidzi no. 2676, Ibnu Majah no. 440 dan yang lainnya)
Jika kita menggabungkan kedua hadits tersebut, yakni hadits Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ‘anhu yang berisi perintah untuk memegang pokok-pokok pohon (ashlu syajarah) dengan hadits ‘Irbadh ini, maka terlihat makna yang sangat dalam. Yaitu perintah untuk ber-iltizam pada As-Sunnah An-Nabawiyah dengan pemahaman Salafuna As-Shalih Ridhwanullah ta’ala ‘alaihim manakala muncul firqah-firqah sesat dan hilangnya Jamaah Muslimin serta Imamnya.
Kedua, di sini ditunjukkan pula bahwa lafadz (an ta’adhdha bi ashli syajarah) dalam hadits Hudzaifah tersebut tidak dapat diartikan secara zhahir hadits. Tetapi maknanya adalah perintah untuk berpegang teguh, dan bersabar dalam memegang Al-Haq serta menjauhi firqah-firqah sesat yang menyaingi Al-Haq. Atau bermakna bahwa pohon Islam yang rimbun tersebut akan ditiup badai topan hingga mematahkan cabang-cabangnya dan tidak tinggal kecuali pokok pohonnya saja yang kokoh. Oleh karena itu maka wajib setiap muslim untuk berada di bawah asuhan pokok pohon ini walaupun harus ditebus dengan jiwa dan harta. Karena badai topan itu akan datang lagi lebih dahsyat.
Ketiga, oleh karena itu menjadi kewajiban bagi setiap muslim untuk mengulurkan tangannya kepada kelompok (firqah) yang berpegang teguh dengan pokok pohon itu untuk menghadapi kembalinya fitnah dan bahaya bala. Kelompok ini seperti disabdakan beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam akan selalu ada dan akan selalu muncul untuk menyokong kebenaran hingga yang terakhir dibunuh Dajjal.
Maraji’:
  1. Al Ilzamat wa at Tatabu oleh Ad-Daruquthni
  2. Tafsir Al-Qur’an Al-Adzim, oleh Ibnu Katsir
  3. Al Jami’ As Shahih, oleh Bukhari dengan Fathul Bari
  4. Haliyatul Auliya’ oleh Abu Na’im Al- Ashbahani
  5. Silsilah Al-Hadits As-Shahihah, oleh Muhammad Nashiruddien Al-Albani
  6. As-Sunnan, oleh Ibnu Majah
  7. As-Sunnan, oleh Abu Dawud
  8. As-Sunnan, oleh Tirmidzi
  9. Syiar A’lam An-Nubala, oleh Adz-Dzahabi
  10. Syarhu Sunnah, oleh Baghawi
  11. As-Shahih, oleh Muslim bin Al-Hujjaj
  12. ‘Aunil Ma’bud, oleh Syamsul Al-Abadi
  13. Al-Kaasyif, oleh Dzahabi
  14. Al-Mustadrak, oleh Hakim
  15. Al-Musnad, oleh Ahmad bin Hambal

Fiqih Islam


PENGERTIAN FIQIH
Fiqih menurut bahasa berarti paham, seperti dalam firman Allah :
“Maka mengapa orang-orang itu (orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan sedikitpun?” (QS.An Nisa :78)
dan sabda Rasulullah :
“Sesungguhnya panjangnya shalat dan pendeknya khutbah seseorang, merupakan tanda akan kepahamannya” (Muslim no.1437, Ahmad no.17598, Daarimi no.1511)

Fiqih Secara istilah mengandung dua arti:
1. Pengetahuan tentang hukum-hukum syari’at yang berkaitan dengan perbuatan dan perkataan mukallaf (mereka yang sudah terbebani menjalankan syari’at agama), yang diambil dari dalil-dalilnya yang bersifat terperinci, berupa nash-nash al Qur’an dan As sunnah serta yang bercabang darinya yang berupa ijma’ dan ijtihad.
2. Hukum-hukum syari’at itu sendiri
Jadi perbedaan antara kedua definisi tersebut bahwa yang pertama di gunakan untuk mengetahui hukum-hukum (Seperti seseorang ingin mengetahui apakah suatu perbuatan itu wajib atau sunnah, haram atau makruh, ataukah mubah, ditinjau dari dalil-dalil yang ada), sedangkan yang kedua adalah untuk hukum-hukum syari’at itu sendiri (Yaitu hukum apa saja yang terkandung dalam shalat, zakat, puasa, haji, dan lainnya berupa syarat-syarat, rukun –rukun, kewajiban-kewajiban, atau sunnah-sunnahnya).
HUBUNGAN ANTARA FIQIH DAN AQIDAH ISLAM
Diantara keistimewaan fiqih Islam –yang kita katakan sebagai hukum-hukum syari’at yang mengatur perbuatan dan perkataan mukallaf – memiliki keterikatan yang kuat dengan keimanan terhadap Allah dan rukun-rukun aqidah Islam yang lain. Terutama Aqidah yang berkaitan dengan iman dengan hari akhir.
Yang demikian Itu dikarenakan keimanan kepada Allah-lah yang dapat menjadikan seorang muslim berpegang teguh dengan hukum-hukum agama, dan terkendali untuk menerapkannya sebagai bentuk ketaatan dan kerelaan. Sedangkan orang yang tidak beriman kepada Allah tidak merasa terikat dengan shalat maupun puasa dan tidak memperhatikan apakah perbuatannya termasuk yang halal atau haram. Maka berpegang teguh dengan hukum-hukum syari’at tidak lain merupakan bagian dari keimanan terhadap Dzat yang menurunkan dan mensyari’atkannya terhadap para hambaNya.
Contohnya:
a. Allah memerintahkan bersuci dan menjadikannya sebagai salah satu keharusan dalam keiman kepada Allah sebagaimana firman-Nya :
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS.Al maidah:6)
b. Juga seperti shalat dan zakat yang Allah kaitkan dengan keimanan terhadap hari akhir, sebagaimana firman-Nya :
“(yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat dan mereka yakin akan adanya negeri akhirat.” (QS. An naml:3)
Demikian pula taqwa, pergaulan baik, menjauhi kemungkaran dan contoh lainnya, yang tidak memungkinkan untuk disebutkan satu persatu. (lihat fiqhul manhaj hal.9-12)

FIQIH ISLAM MENCAKUP SELURUH KEBUTUHAN MANUSIA

Tidak ragu lagi bahwa kehidupan manusia meliputi segala aspek. Dan kebahagiaan yang ingin dicapai oleh manusia mengharuskannya untuk memperhatikan semua aspek tersebut dengan cara yang terprogram dan teratur. Manakala fiqih Islam adalah ungkapan tentang hukum-hukum yang Allah syari’atkan kepada para hamba-Nya, demi mengayomi seluruh kemaslahatan mereka dan mencegah timbulnya kerusakan ditengah-tengah mereka, maka fiqih Islam datang memperhatikan aspek tersebut dan mengatur seluruh kebutuhan manusia beserta hukum-hukumnya.

Penjelasannya sebagai berikut:

Kalau kita memperhatikan kitab-kitab fiqih yang mengandung hukum-hukum syari’at yang bersumber dari Kitab Allah, Sunnah Rasulnya, serta Ijma (kesepakatan) dan Ijtihad para ulama kaum muslimin, niscaya kita dapati kitab-kitab tersebut terbagi menjadi tujuh bagian, yang kesemuanya membentuk satu undang-undang umum bagi kehidupan manusia baik bersifat pribadi maupun bermasyarakat. Yang perinciannya sebagai berikut:
1. Hukum-hukum yang berkaitan dengan ibadah kepada Allah. Seperti wudhu, shalat, puasa, haji dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan Fiqih Ibadah.
2. Hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah kekeluargaan. Seperti pernikahan, talaq, nasab, persusuan, nafkah, warisan dan yang lainya. Dan ini disebut dengan fikih Al ahwal As sakhsiyah.
3. Hukum-hukum yang berkaitan dengan perbuatan manusia dan hubungan diantara mereka, seperti jual beli, jaminan, sewa menyewa, pengadilan dan yang lainnya. Dan ini disebut fiqih mu’amalah.
4. Hukum-hukum yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban pemimpin (kepala negara). Seperti menegakan keadilan, memberantas kedzaliman dan menerapkan hukum-hukum syari’at, serta yang berkaitan dengan kewajiban-kewajiban rakyat yang dipimpin. Seperti kewajiban taat dalam hal yang bukan ma’siat, dan yang lainnya. Dan ini disebut dengan fiqih siasah syar’iah.
5. Hukum-hukum yang berkaitan dengan hukuman terhadap pelaku-pelaku kejahatan, serta penjagaan keamanan dan ketertiban. Seperti hukuman terhadap pembunuh, pencuri, pemabuk, dan yang lainnya. Dan ini disebut sebagai fiqih Al ‘ukubat.
6. Hukum-hukum yang mengatur hubungan negeri Islam dengan negeri lainnya. Yang berkaitan dengan pembahasan tentang perang atau damai dan yang lainnya. Dan ini dinamakan dengan fiqih as Siyar.
7. Hukum-hukum yang berkaitan dengan akhlak dan prilaku, yang baik maupun yang buruk. Dan ini disebut dengan adab dan akhlak

Demikianlah kita dapati bahwa fiqih Islam dengan hukum-hukumnya meliputi semua kebutuhan manusia dan memperhatikan seluruh aspek kehidupan pribadi dan masyarakat.
SUMBER-SUMBER FIQIH ISLAM
Semua hukum yang terdapat dalam fiqih Islam kembali kepada empat sumber:
AL QUR’AN
Al Qur’an adalah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi kita Muhammad untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju cahaya yang terang benderang. Ia adalah sumber pertama bagi hukum-hukum fiqih Islam. Jika kita menjumpai suatu permasalahan, maka pertamakali kita harus kembali kepada Kitab Allah guna mencari hukumnya. Sebagai contoh :
a. Bila kita ditanya tentang hukum khamer (miras), judi, pengagungan terhadap bebatuan dan mengundi nasib, maka jika kita merujuk kepada Al Qur’an niscaya kita akan mendapatkannya dalam firman Allah swt: (QS. Al maidah : 90)
b. Bila kita ditanya tentang masalah jual beli dan riba, maka kita dapatkan hukum hal tersebut dalam Kitab Allah (QS. Al baqarah : 275). Dan masih banyak contoh-contoh yang lain yang tidak memungkinkan untuk di perinci satu persatu.
AS SUNNAH
As-Sunnah yaitu semua yang bersumber dari Nabi berupa perkataan, perbuatan atau persetujuan.
Contoh perkataan/sabda Nabi :
“Mencela sesama muslim adalah kefasikan dan membunuhnya adalah kekufuran”( Bukhari no.46,48, muslim no. .64,97, Tirmidzi no.1906,2558, Nasa’I no.4036, 4037, Ibnu Majah no.68, Ahmad no.3465,3708)
Contoh perbuatan:
apa yang diriwayatkan oleh Bukhari (Bukhari no.635, juga diriwayatkan oleh Tirmidzi no.3413, dan Ahmad no.23093,23800,34528) bahwa ‘Aisyah pernah ditanya: apa yang biasa dilakukan Rasulullah dirumahnya ? Aisyah menjawab:
“Beliau membantu keluarganya; kemudian bila datang waktu shalat, beliau keluar untuk menunaikannya.”
Contoh persetujuan :
apa yang diriwayatkan oleh Abu Dawud (Hadits no.1267) bahwa Nabi pernah melihat seseorang shalat dua rakaat setelah sholat subuh, maka Nabi berkata kepadanya:
“Shalat subuh itu dua rakaat” orang tersebut menjawab, “sesungguhnya saya belum shalat sunat dua rakaat sebelum subuh, maka saya kerjakan sekarang.” Lalu Nabi saw terdiam”
Maka diamnya beliau berarti menyetujui disyari’atkannya shalat sunat qabliah subuh tersebut setelah shalat subuh bagi yang belum menunaikannya.
As-Sunnah adalah sumber kedua setelah al Qur’an. Bila kita tidak mendapatkan hukum dari suatu permasalahn dalam Al Qur’an maka kita merujuk kepada as-Sunnah dan wajib mengamalkannya jika kita mendapatkan hukum tersebut. Dengan syarat, benar-benar bersumber dari Nabi e dengan sanad yang sahih. As Sunnah berfungsi sebagai penjelas al Qur’an dari apa yang bersifat global dan umum. Seperti perintah shalat; maka bagaimana tatacaranya didapati dalam as Sunnah. Oleh karena itu Nabi bersabda:
“shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (Bukhari no.595)
Sebagaimana pula as-Sunnah menetapkan sebagian hukum-hukum yang tidak dijelaskan dalam Al Qur’an. Seperti pengharaman memakai cincin emas dan kain sutra bagi laki-laki.
IJMA’
Ijma’ bermakna: Kesepakatan seluruh ulama mujtahid dari umat Muhammad saw dari suatu generasi atas suatu hukum syar’i, dan jika sudah bersepakat ulama-ulama tersebut—baik pada generasi sahabat atau sesudahnya—akan suatu hukum syari’at maka kesepakatan mereka adalah ijma’, dan beramal dengan apa yang telah menjadi suatu ijma’ hukumnya wajib.
Dan dalil akan hal tersebut sebagaimana yang dikabarkan Nabi saw, bahwa tidaklah umat ini akan berkumpul (bersepakat) dalam kesesatan, dan apa yang telah menjadi kesepakatan adalah hak (benar).
Dari Abu Bashrah ra, bahwa Nabi saw bersabda:
“Sesungguhnya Allah tidaklah menjadikan ummatku atau ummat Muhammad berkumpul (besepakat) di atas kesesatan” (Tirmidzi no.2093, Ahmad 6/396)
Contohnya:
Ijma para sahabat ra bahwa kakek mendapatkan bagian 1/6 dari harta warisan bersama anak laki-laki apabila tidak terdapat bapak.
Ijma’ merupakan sumber rujukan ketiga. Jika kita tidak mendapatkan didalam Al Qur’an dan demikian pula sunnah, maka untuk hal yang seperti ini kita melihat, apakah hal tersebut telah disepakatai oleh para ulama muslimin, apabila sudah, maka wajib bagi kita mengambilnya dan beramal dengannya.
QIYAS
Yaitu: Mencocokan perkara yang tidak didapatkan didalamnya hukum syar’i dengan perkara lain yang memiliki nas yang sehukum dengannya, dikarenakan persamaan sebab/alasan antara keduanya.
Pada qiyas inilah kita meruju’ apabila kita tidak mendapatkan nash dalam suatu hukum dari suatu permasalahan, baik di dalam Al Qur’an, sunnah maupun ijma’.
Ia merupakan sumber rujukan keempat setelah Al Qur’an, as Sunnah dan Ijma’.
Rukun Qiyas
Qiyas memiliki empat rukun: 1. Dasar (dalil), 2. Masalah yang akan diqiyaskan, 3. Hukum yang terdapat pada dalil, 4. Kesamaan sebab/alasan antara dalil dan masalah yang diqiyaskan.
Contoh:
Allah mengharamkan khamer dengan dalil Al Qur’an, sebab atau alasan pengharamannya adalah karena ia memabukkan, dan menghilangkan kesadaran. Jika kita menemukan minuman memabukkan lain dengan nama yang berbeda selain khamer, maka kita menghukuminya dengan haram, sebagai hasil Qiyas dari khamer. Karena sebab atau alasan pengharaman khamer yaitu “memabukkan” terdapat pada minuman tersebut, sehingga ia menjadi haram sebagaimana pula khamer.
Inilah sumber-sumber yang menjadi rujukan syari’at dalam perkara-perkara fiqih Islam, kami sebutkan semoga mendapat manfaat, adapun lebih lengkapnya dapat dilihat di dalam kitab-kitab usul fiqh Islam ( fiqhul manhaj, ‘ala manhaj imam syafi’i)
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah Fatawa

Fiqih Nasehat


Dari Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari, bahwa Nabi telah bersabda, “Agama (Islam) itu adalah nasehat.” (beliau mengulanginya tiga kali), Kami bertanya, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, rasul-Nya, imam-imam kaum muslimin, dan kaum muslimin umumnya.”
Takhrij Hadits Ringkas
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim (hadits no. 55) di dalam Shahih-nya di dalam Kitab al-Iman: Bab Bayan Anna ad-Din an-Nashihah (II/32-Syarah an Nawawi), dari tiga jalur yang semuanya bertemu pada Suhail bin Abu Shalih dari ‘Atha’ bin Yazid al-Laitsi dari Tamim ad-Dari. Riwayat inilah yang paling masyhur dalam periwayatan hadits ini.

Sedangkan Imam Bukhari hanya menyebutkannya -dengan lafal serupa- dalam judul sebuah bab dalam Shahih-nya, yaitu Bab Qaul an-Nabi: ad-Din an-Nashihah, lilLahi, wa li Rasulihi, wa li Aimmati l-Muslimin wa ‘Ammatihim di dalam Kitab al-Iman (I/166-Fathul Bari), karena Suhail bin Abu Shalih tidak memenuhi syarat (kriteria) shahih beliau.
Riwayat yang mengisyaratkan pengulangan, dengan kalimat ‘tsalaasan‘ (mengulanginya tiga kali) pada hadits di atas, terdapat dalam riwayat Imam Ahmad dalam Musnad-nya, dan inilah yang dibawakan oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/202, hadits no. 7). Sedangkan Imam an Nawawi dalam al-Arbain (hadits no.7) membawakannya tanpa pengulangan dengan isyarat lafal (tsalaatsan).
Biografi Periwayat Hadits
Abu Ruqayyah Tamim ad-Dari
Beliau adalah Tamim bin Aus bin Kharijah bin Sud bin Judzaimah al-Lukhami al-Filisthini (dari Palestina), Abu Ruqayyah ad-Dari. Beliau masuk Islam pada tahun 9 H. Sebelumnya beliau seorang nasrani, bahkan salah seorang pendeta di Palestina. Pada suatu waktu terjadi pada dirinya sebuah kisah yang menakjubkan, yaitu kisah al-Jassasah [seekor hewan melata berbulu lebat yang berbicara kepada Tamim ad-Dari, yang juga akan berbicara kepada manusia kelak di akhir jaman - Lihat an-Nihayah (V/268) dan Lisanul-Arab (I/786)].
Dalam kisah itu terdapat cerita tentang Dajjal yang akan keluar nanti di akhir jaman – semoga Allah melindungi kita dari kejahatannya-. Nabi meriwayatkan kisah ini dari beliau (Tamim), dan ini sebagai salah satu keutamaan beliau (selengkapnya kisah al-Jassasah ini dalam Shahih Muslim (hadits no. 2942).
Semenjak masuk Islam, beliau tinggal di Madinah sampai terbunuhnya Khalifah Utsman bin ‘Affan. Setelah itu beliau pindah ke Baitul Maqdis di Palestina, tepatnya di desa ‘Ainun. Beliau termasuk salah seorang sahabat yang mengumpulkan al-Qur’an. Ada sekitar 40 hadits yang beliau riwayatkan dari Nabi, satu di antaranya terdapat dalam Shahih Muslim, yaitu hadits ini. Hidup beliau dipenuhi dengan ibadah. Beliau giat bertahajjud (shalat malam), dan membaca al-Qur’an. Beliau wafat pada tahun 40 H di Bait Jabrin, Palestina, tanpa meninggalkan seorang anak pun, kecuali Ruqayyah. Semoga Allah meridhai beliau. (Lihat biografinya dalam al-Ishabah (I/367), al-Isti‘ab (I/193), Siyar A‘lamin Nubala’ (II/442), ats-Tsiqat (III/39), dll).
Makna Kata dan Kalimat
Kata (ad-din) secara bahasa memiliki sejumlah makna, antara lain makna al-jaza’ (pembalasan), al-hisab (perhitungan), al-‘adah (kebiasaan), ath-tha‘ah (ketaatan), dan al-Islam (ajaran/agama Islam). Makna yang terakhir inilah yang dimaksud dalam hadits ini.
Kata (an-nashihah) berasal dari kata (an-nushhu) yang memiliki beberapa pengertian.
a. (al-Khulush) berarti murni (Lisanul-Arab (II/616), an-Nihayah (V/62), seperti dalam kalimat :
(alkhaalisu minal ‘asali) ‘Madu yang murni’. Perkataan dan perbuatan yang murni (bersih) dari kotoran dusta dan khianat adalah bagaikan madu yang murni (bersih) dari lilin (I‘lamu l-Hadits (I/190), dan Syarah Shahih Muslim (II/33)).
b. (‘al-Khiyathah/al-Khaith’) berarti ‘menjahit/ menyulam dengan jarum’ (Lisanul-Arab (II/617), Fathul Bari (I/167). Perbuatan seseorang yang menyampaikan nasehat kepada saudaranya yang melakukan kesalahan demi kebaikan saudaranya, adalah bagaikan orang yang menjahit/menyulam baju yang robek/berlubang sehingga baik kembali dan layak dipakai. (I’lamul-Hadits (I/190) dan Syarah Shahih Muslim (II/33).
Adapun menurut istilah syar’i, Ibnu al-Atsir menyebutkan, “Nasehat adalah sebuah kata yang mengungkapkan suatu kalimat yang sempurna, yaitu keinginan (memberikan) kebaikan kepada orang yang dinasehati. Makna tersebut tidak bisa diungkapkan hanya dengan satu kata, sehingga harus bergabung dengannya kata yang lain” (An-Nihayah (V/62). Ini semakna dengan defenisi yang disampaikan oleh Imam Khaththabi. Beliau berkata, “Nasehat adalah sebuah kata yang jami‘ (luas maknanya) yang berarti mengerahkan segala yang dimiliki demi (kebaikan) orang yang dinasihati. Ia merupakan sebuah kata yang ringkas (namun luas maknanya). Tidak ada satu kata pun dalam bahasa Arab yang bisa mengungkapkan makna dari kata (nasehat) ini, kecuali bila digabung dengan kata lain.” (I’lamul-Hadits (I/189-190) dan Syarah Shahih Muslim (II/32-33), lihat Fathul Bari (I/167)).
Kedudukan Hadits
Abu Dawud menyebutkan bahwa hadits ini adalah salah satu dari lima hadits yang kepadanya Fikih Islam bermuara (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203).
Abu Nu’aim mengatakan bahwa hadits ini memiliki kedudukan yang agung, yang dikatakan oleh Muhammad bin Aslam ath-Thusi bahwa dia adalah seperempat agama (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/25 dan 203) dan Fathul Bari (I/167)).
Bahkan, agama ini hanya bermuara kepadanya, seperti dikatakan oleh an Nawawi (Syarah Shahih Muslim (II/32)).
Ibnu Rajab berkata, “Nabi telah mengabarkan bahwa agama itu adalah nasehat. Hal ini menunjukkan bahwa nasehat mencakup Islam, Iman, dan Ihsan yang tersebut dalam hadits-Jibril (Muslim (hadits no. 8) dari Umar bin al-Khaththab)” (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (1/206)).
MACAM-MACAM NASEHAT
“Agama (Islam) itu adalah nasehat”.
Khaththabi berkata, “Maksudnya adalah bahwa tiang (yang menyangga) urusan agama ini adalah nasehat. Dengannya, agama ini akan tegak dan kuat” (I’lamul-hadits (I/190)).
Ibnu Hajar berkata, “Boleh jadi (kalimat ini) bermakna mubalaghah (melebihkan suatu perkara). Maksudnya (bahwa) sebagian besar agama ini (isinya) adalah nasehat. Ini serupa dengan hadits: ‘Haji itu Arafah’.
Bisa jadi pula bermakna sebagaimana lahirnya lafal tersebut (yakni tidak lain agama ini adalah nasehat), karena setiap amalan yang dilakukan oleh seseorang tanpa ikhlas maka hal itu bukan termasuk bagian agama.” (Fathul Bari (I/167))
“Nasehat bagi Allah”
Yaitu, beriman kepada-Nya semata dengan tidak mempersekutukan diri-Nya dengan sesuatu apapun, meninggalkan segala bentuk penyimpangan dan pengingkaran terhadap sifat-sifat-Nya, mensifati-Nya dengan segala sifat kesempurnaan dan kebesaran, mensucikan-Nya dari segala kekurangan, mentaati-Nya dengan tidak bermaksiat kepada-nya, cinta dan benci karena-Nya, bersikap wala’ (loyal) kepada orang-orang yang mentaati-Nya dan membenci orang-orang yang menentang-Nya, memerangi orang-orang yang kufur terhadap-Nya, mengakui dan mensyukuri segala nikmat dari-Nya, dan ikhlas dalam segala urusan, mengajak dan menganjurkan manusia untuk berperilaku dengan sifat-sifat di atas, serta berlemah lembut terhadap mereka atau sebagian mereka dengan sifat-sifat tersebut.
Khaththabi berkata, “Hakekat idhafah (penyandaran) nasehat kepada Allah –sebenarnya- kembali kepada hamba itu sendiri, karena Allah tidak membutuhkan nasehat manusia”. (Syarah Shahih Muslim (II/33), dan lihat I’lamul-Hadits (I/191)).
“Nasehat bagi Kitab Allah”.
Yaitu, mengimani bahwa Kitab Allah adalah Kalamullah (wahyu dari-Nya) yang Dia turunkan (kepada Rasul-Nya) yang tidak serupa sedikit pun dengan perkataan makhluk-Nya, dan tiada seorang makhluk pun yang sanggup membuat yang serupa dengannya. Mengagungkannya, membacanya dengan sebenar-benarnya (sambil memahami maknanya) dengan membaguskan bacaan, khusyu’, dan mengucapkan huruf-hurufnya dengan benar. Membelanya dari penakwilan (batil) orang-orang yang menyimpang dan serangan orang-orang yang mencelanya. Membenarkan semua isinya, menegakkan hukum-hukumnya, menyerap ilmu-ilmu dan perumpamaan-perumpamaan (yang terkandung) di dalamnya. Mengambil ibrah (pelajaran) dari peringatan-peringatannya.
Memikirkan hal-hal yang menakjubkan di dalamnya. Mengamalkan ayat-ayat yang muhkam (yang jelas) disertai dengan sikap taslim (menerima sepenuh hati) ayat-ayat yang mutasyabih (yang sulit) – yakni bahwa semuanya dari Allah-. Meneliti mana yang umum (maknanya) dan mana yang khusus, mana yang nasikh (yang menghapus hukum yang lain) dan mana yang mansukh (yang dihapus hukumnya). Menyebarkan (mengajarkan) ilmu-ilmunya dan menyeru manusia untuk berpedoman dengannya, dan seterusnya yang bisa dimasukkan dalam makna nasehat bagi Kitabullah (Syarh Shahih Muslim (II/33), dan lihat juga I’lamul-Hadits (I/191-192)).
“Nasehat bagi Rasulullah”.
Yaitu, membenarkan kerasulan beliau, mengimani segala yang beliau bawa, mentaati perintah dan larangan beliau, membela dan membantu (perjuangan) beliau semasa beliau hidup maupun setelah wafat, membenci orang-orang yang membenci beliau dan menyayangi orang-orang yang loyal kepada beliau, mengagungkan hak beliau, menghormati beliau dengan cara menghidupkan sunnah beliau, ikut menyebarkan dakwah dan syariat beliau, dengan membendung segala tuduhan terhadap sunnah beliau tersebut, mengambil ilmu dari sunnah beliau dengan memahami makna-maknanya, menyeru manusia untuk berpegang dengannya, lemah lembut dalam mempelajari dan mengajarkannya, mengagungkan dan memuliakan sunnah beliau tersebut, beradab ketika membacanya, tidak menafsirkannya dengan tanpa ilmu, memuliakan orang-orang yang memegang dan mengikutinya. Meneladani akhlak dan adab-adab yang beliau ajarkan, mencintai ahli bait dan para sahabat beliau, tidak mengadakan bid‘ah terhadap sunnah beliau, tidak mencela seorang pun dari para sahabat beliau, dan makna-makna lain yang semisalnya (Syarah Shahih Muslim (2/33), dan lihat juga I’lam al-Hadits (1/192)).
“Nasehat bagi para imam/pemimpin kaum muslimin”.
Artinya, membantu dan mentaati mereka di atas kebenaran. Memerintahkan dan mengingatkan mereka untuk berdiri di atas kebenaran dengan cara yang halus dan lembut. Mengabarkan kepada mereka ketika lalai dari menunaikan hak-hak kaum muslimin yang mungkin belum mereka ketahui, tidak memberontak terhadap mereka, dan melunakkan hati manusia agar mentaati mereka.
Imam al-Khaththabi menambahkan, “Dan termasuk dalam makna nasehat bagi mereka adalah shalat di belakang mereka, berjihad bersama mereka, menyerahkan shadaqah-shadaqah kepada mereka, tidak memberontak dan mengangkat pedang (senjata) terhadap mereka –baik ketika mereka berlaku zhalim maupun adil-, tidak terpedaya dengan pujian dusta terhadap mereka, dan mendoakan kebaikan untuk mereka. Semua itu dilakukan bila yang dimaksud dengan para imam adalah para khalifah atau para penguasa yang menangani urusan kaum muslimin, dan inilah yang masyhur”. Lalu beliau melanjutkan, “Dan bisa juga ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan para imam adalah para ulama, dan nasehat bagi mereka berarti menerima periwayatan mereka, mengikuti ketetapan hukum mereka (tentu selama mengikuti dalil), serta berbaik sangka (husnu zh-zhan) kepada mereka”. (Syarah Shahih Muslim (2/33-34), I’lam al-Hadits (1/192-193)).
“Nasehat bagi kaum muslimin umumnya”.
Artinya, membimbing mereka menuju kemaslahatan dunia dan akhirat, tidak menyakiti mereka, mengajarkan kepada mereka urusan agama yang belum mereka ketahui dan membantu mereka dalam hal itu baik dengan perkataan maupun perbuatan, menutup aib dan kekurangan mereka, menolak segala bahaya yang dapat mencelakakan mereka, mendatangkan manfaat bagi mereka, memerintahkan mereka melakukan perkara yang ma’ruf dan melarang mereka berbuat mungkar dengan penuh kelembutan dan ketulusan. Mengasihi mereka, menghormati yang tua dan menyayangi yang muda dari mereka, diselingi dengan memberi peringatan yang baik (mau‘izhah hasanah), tidak menipu dan berlaku hasad (iri) kepada mereka, mencintai kebaikan dan membenci perkara yang tidak disukai untuk mereka sebagaimana untuk diri sendiri, membela (hak) harta, harga diri, dan hak-hak mereka yang lainnya baik dengan perkataan maupun perbuatan, menganjurkan mereka untuk berperilaku dengan semua macam nasehat di atas, mendorong mereka untuk melaksanakan ketaatan dan sebagainya (Syarh Shahih Muslim (II/34), I’lamul-Hadits (I/193)).
Keutamaan Orang yang Memberi Nasehat
Menasehati hamba-hamba Allah kepada hal yang bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka merupakan tugas para rasul. Allah mengabarkan perkataan nabi-Nya, Hud, ketika menasehati kaumnya, “Aku menyampaikan amanat-amanat Tuhanku kepada kalian dan aku ini hanyalah pemberi nasehat yang terpercaya bagimu” (Q.S. Al-A‘raf: 68).
Allah juga menyebutkan perkataan nabi-Nya, Shalih, kepada kaumnya setelah Allah menimpakan bencana kepada mereka, “Maka Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku telah menyampaikan kepadamu amanat Tuhanku, dan aku telah memberi nasehat kepadamu, tetapi kamu tidak menyukai orang-orang yang memberi nasehat’” (Q.S. Al-A‘raf: 79).
Maka seorang hamba akan memperoleh kemuliaan manakala dia melaksanakan apa yang telah dilakukan oleh para nabi dan rasul. Nasehat merupakan salah satu sebab yang menjadikan tingginya derajat para nabi, maka barangsiapa yang ingin ditinggikan derajatnya di sisi Allah, Pencipta langit dan bumi, maka hendaknya dia melaksanakan tugas yang agung ini (Qawaid wa Fawaid (hal. 94-95)).
Hukum Nasehat
Imam Nawawi menukil perkataan Ibnu Baththal, “(Memberi) nasehat itu hukumnya fardhu (kifayah) yang telah cukup bila ada (sebagian) orang yang melakukannya dan gugur dosa atas yang lain.” Lebih lanjut Ibnu Baththal berkata, “Nasehat adalah suatu keharusan menurut kemampuan (masing-masing) apabila si pemberi nasehat tahu bahwa nasehatnya akan diterima dan perintahnya akan dituruti serta aman dari perkara yang tidak disukainya (yang akan menyakitinya). Adapun jika dia khawatir akan menyebabkan bahaya (yang mencelakakan dirinya), maka dalam hal ini ada kelapangan baginya, wallahu a’lam” (Syarah Shahih Muslim (II/34)).
Namun, menengok kepada maknanya yang menyeluruh, nasehat itu ada yang fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah, ada yang wajib dan ada yang mustahab. Karena Nabi menjelaskan bahwa agama itu adalah nasehat, sementara agama itu ada di antaranya yang wajib dan ada yang mustahab, ada yang merupakan fardhu ‘ain dan ada yang fardhu kifayah (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).
Hal yang serupa telah dikatakan oleh Muhammad bin Nashr dalam kitabnya Ta‘zhim Qadra ash-Shalat seperti dinukil oleh Ibnu Rajab dalam Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam , katanya, “Dan ia (nasehat) terbagi menjadi dua, ada yang fardhu (wajib) dan ada yang nafilah (sunnah/dianjurkan)”. Lalu beliau memerinci hal tersebut secara panjang lebar yang tidak dapat kami muat disini (Jami‘ul ‘Ulum wal Hikam (I/207-210)).
Faedah-Faedah
1. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Boleh mengakhirkan penjelasan dari waktu khitab (penyampaian). Ini diambil dari kalimat: ‘Kami (para sahabat) bertanya, ‘untuk siapa?’”. (Fathul Bari (1/167), cet. Dar ar-Rayyan lit-Turats).
Dan bahwa nasehat itu dinamakan agama dan Islam, dan bahwa agama ini ada yang berupa perbuatan sebagaimana ada yang berupa perkataan (Qawaid wa Fawaid (hal. 95)).
2. Perkataan Imam Bukhari dalam shahihnya, “Bab sabda Nabi, ‘Ad-diinun nashiihah, lillahi, wa lirasulihi, wa liaimmatil muslimin wa ‘ammatihim’ Wa Qouluhu Ta’ala (wa idzaa nashohu lillahi walirasuulihi)” dalam kitab ‘al-Iman’, untuk menunjukkan bahwa nasehat merupakan bagian dari iman (Qawaid wa Fawaid (hal. 96)).
Wallahu A’lam .
Diambil dari Majalah Fatawa

Syarah Hadits Wali


Penulis: Ustadz Ali Musri, M.A.
Mahasiswa Doktoral Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia
Segala puji bagi Alloh, Tuhan semesta alam, sholawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga selawat dan salam juga terlimpahkan buat keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Terjemahan Hadits:
“Dari Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya Alloh telah berfirman: Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya, dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan. Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.

Hadits ini dirawikan Imam Bukhary dalam kitab shahihnya, hadits no: 6137.
Hadits ini disebut juga hadits Qudsi, karena Nabi shalalahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkannya langsung dari Alloh, adapun perbedaan antara hadits Qudsi dengan hadits biasa ada beberapa pendapat, yang masyhur di kalangan para ulama adalah bahwa hadits Qudsi lafaz dan maknanya datang langsung dari Alloh adapun hadits biasa lafaznya dari nabi sedangkan maknanya dari Alloh subhanahu wa ta’ala. Kemudian apa perbedaan antara hadits Qudsi dengan Al Qur’an? Karena keduanya sama-sama datang dari Alloh baik lafaz maupun makna? Sebagian ulama menyebutkan: perbedaanya adalah Al Quran mendapat pahala dalam segi membaca dan hal-hal lainnya, adapun hadits Qudsi mendapat pahala dengan memahami dan mengamalkannya. Namun sebagian ulama meninggalkan dari mencari-cari perbedaan tersebut takut akan terjerumus kepada persoalan yang berlebih-lebihan yang akhirnya akan menyebabkan berbicara dalam agama tampa ilmu. Wallohu a’lam bissawaab.
Sahabat yang merawikan hadits ini dari Rasulullah shalallohu ‘alaihi wa sallam adalah Abu Hurairah radhiAllohu ‘anhu, sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits dari Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Nama beliau adalah Abdurrahman bin Shakhar Addausy, masuk Islam pada saat perang khaibar tahun ke 7 H. dan meninggal dunia pada th 57 H.
Mengapa beliau sahabat yang terbanyak meriwayatkan hadits?
Pertama, berkat doa nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam kepadanya, agar setiap hadits yang ia dengar langsung hafal dan tidak lupa untuk selamanya.
Kedua, ia selalu bersama nabi semenjak berjumpa dengan beliau, ia tidak punya kesibukan lain kecuali mengambil ilmu dari nabi adapun para sahabat yang lain Mereka mempunyai kesibukan untuk mengurus keluarga dan harta mereka. Imam Az Dzahaby menyebutkan dalam kitab Siyyarnya, “Seseorang bertanya kepada Tholhah bin Ubaidillah: kenapa Abu Hurairah lebih banyak mengetahui hadits dari kalian? Kami mendengar darinya apa yang tidak kami dengar dari kalian? Apakah ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatakan Rasulullah? Jawab Tholhah: adapun tentang ia mendengar sesuatu yang tidak kami dengar, saya tidak meragukannya, saya akan menerangkan hal tersebut padamu, kami memiliki keluarga, binatang ternak dan pekerjaan, kami datang menemui Rasululllah hanya pada dua penghujung hari (pagi dan sore). Sedangkan ia (Abu Hurairah) adalah orang yang miskin, sebagai tamu dipintu rumah Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam, tangannya selalu bersama tangan Rasulullah, maka kami tidak meragukan apa yang ia dengar sekalipun kami tidak mendengarnya dari Rasulullah, engkau tidak akan menemukan seseorang akan tetap baik bila ia mengatakan sesuatu yang tidak dikatan Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam.”
Abu Hurairah sendiri pun telah menjelaskan tentang hal tersebut ketika berita seperti ini dari seseorang sampai kepadanya: aku datang menemui Rasulullah pada saat perang khaibar, umurku saat itu sudah melewati 30 tahun. Aku tetap tinggal bersamanya sampai beliau meninggal dunia, aku ikut bersamanya kerumah-rumah istri beliau, aku selalu membantu beliau, aku selalu ikut perang dan haji bersama beliau, dan tetap selalu shalat di belakang beliau, maka oleh sebab itu (demi Alloh) aku menjadi orang yang paling tahu dengan hadits-hadits beliau.
Kandungan Hadits
Hadits di atas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
Pertama: Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
Dalam potongan awal dari hadits diatas disebutkan: “Barangsiapa yang memusuhi Waliku maka sesungguhnya Aku telah menyatakan perang kepadanya”. Maksud dari memusuhi dalam hadits ini adalah memusuhi karena alasan agama dan iman bukan karena urusan duniawi, adapun pertikaian yang disebabkan oleh urusan duniawi selama tidak sampai pada puncak kebencian tidak mendapat ancaman yang disebutkan Alloh dalam hadits ini. Karena perselisihan dan pertikaian juga terjadi dikalangan sebahagian para sahabat, sebab mereka adalah manusia biasa yang juga memeliki kesalahan dan kealpaan, tapi pertikaian tersebut tidak sampai pada tingkat kebencian, bahkan secepatnya mereka saling memaafkan, sebagaimana yang pernah terjadi antara Abu bakar dan Umar atau pertikaian tersebut timbul karena ijtihad Mereka masing-masing sebagaimana apa yang terjadi dalam perang shiffin dan jamal.
Adapun kebencian yang didasari oleh kebencian kepada agama dan keimanan adalah merupakan dosa besar dan bahkan bisa menyebabkan seseorang keluar dari Islam, sebagaimana kebencian orang –orang Ahlu bid’ah kepada Ahlussunnah, atau kebencian orang-orang munafikin dan kafirin kepada umat Islam. Begitu pula setiap orang yang tidak menginginkan Islam dan sunnah tersebar dikalangan umat manusia. Apalagi bila sampai pada tingkat menangkap atau menculik dan membunuh tokoh-tokoh Ahlussunnah. Orang yang paling nomor satu dalam memusuhi wali-wali Alloh adalah kaum Rafidhah (Syi’ah), mereka sangat memusuhi orang-orang yang berada digaris depan dan paling mulia dari seluruh wali Alloh setelah para nabi dan rasul yaitu para sahabat yang mulia. Mereka orang-orang rafidhah mengkafirkan dan mencaci para sahabat yang telah berjuang dijalan Alloh untuk tegaknya agama Islam ini dengan harta dan jiwa raga mereka.
Imam As Sya’bi mengungkapakan bahwa kebencian Rafidhah kepada para wali Alloh melebihi kebencian yahudi dan nasrani kepada para wali Alloh: ”Bila engkau bertanya kepada seorang yahudi siapa generasi terbaik agama kamu? Ia akan menjawab: sahabat Musa. Begitu pula bila engkau bertanya kepada seorang nasrani: siapa generasi terbaik agamamu? Ia akan menjawab: sahabat Isa. Tapi bila engakau bertanya kepada seorang rafidhah: siapa generasi yang terburuk dalam agama ini? Ia akan menjawab: sahabat Muhammad.”
Oleh sebab itu Imam Abu Hatim Arraazy berkata, “Sebetulnya Mereka itu ingin membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi Mereka tidak mampu maka Mereka ingin mencela orang yang menyampaikan Al Quran dan sunnah supaya bisa membatalkan Al Quran dan Sunnah, tapi mereka (orang syi’ah) itu lebih berhak untuk dicela, Mereka itu adalah orang-orang zindiq.”
Cara ini pulalah yang ditempuh oleh berbagai kelompok yang melenceng dari sunnah sekarang ini, kita tidak perlu menyebutkan nama mereka masing-masing, tapi cukup kita kenal ciri mereka, karena nama bisa bertukar disetiap tempat dan disetiap saat, bila kita melihat ada kelompok yang melecehkan ulama atau pengikut sunnah itulah mereka. Kenapa mereka menempuh cara ini? Karena bila generasi dijauhkan dari ulamanya maka saat itu mereka baru bisa memasukkan ide-ide atau pemikiran mereka, oleh sebab itu mereka selalu melecehkan atau meremehkan para penegak sunnah, supaya bila label jelek ini sudah tertanam dalam benak seseorang, saat itu ia tidak akan mau lagi mendengar nasehat para ulama, maka saat itu pula berbagai pemikiran dapat dimasukkam kepada mereka.
Sekarang kita kembali kepada taufik utama kita, yaitu apakah pengertian wali, siapa wali Alloh itu? bermacam pandangan telah mewarnai bursa kewalian, ada yang berpandangan bila seseorang telah memiliki hal-hal yang luar biasa berarti dia telah sampai pada tingkat kewalian, seperti tidak luka bila dipukul dengan senjata tajam dan sebagainya. Sebagian orang berpendapat bila sudah pakai baju jubah dan surban berarti sudah wali, sebagian lain berpendapat bila seseorang suka berpakaian kusut dan bersendal cepit berarti ia wali, adapula yang berpandangan bila seseorang kerjanya berzikir selalu berarti dia wali. Dan banyak lagi pendapat-pendapat tentang perwalian yang tidak dapat kita sebutkan satu persatu disini.
Pengertian Wali
Wali secara etimologi berarti: dekat. Adapun secara terminologi menurut pengertian sebagian ulama ahlussunah, wali adalah orang yang beriman lagi bertakwa tetapi bukan nabi. Sebagian ulama lain berpendapat bahwa seluruh orang yang beriman lagi bertaqwa adalah disebut wali Alloh, dan wali Alloh yang paling utama adalah para nabi, yang paling utama diantara para nabi adalah para rasul, yang paling utama diantara para rasul adalah Ulul ‘azmi, yang paling utama diantara Ulul ‘azmi adalah Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Maka para wali Alloh tersebut memiliki perberbedaan dalam tingkat keimanan mereka, sebagaimana mereka memiliki tingkat yang berbeda pula dalam kedekatan Mereka dengan Alloh.
Maka dapat disimpulkan disini bahwa wali-wali Alloh terbagi kepada dua golongan:
Golongan Pertama: Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Alloh). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh disamping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana lanjutan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Golongan Kedua: Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits di atas: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya”.
Kedua golongan ini disebutkan Alloh dalan firman-Nya:
“Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Alloh). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (Al Waaqi’ah: 88-91).
Kemudian para wali itu terbagi pula menurut amalan dan perbuatan Mereka kepada dua bagian; wali Alloh dan wali setan. Maka untuk membedakan diantara kedua jenis wali ini perlu kita melihat amalan seorang wali tersebut, bila amalannya benar menurut Al Quran dan Sunnah maka dia adalah wali Alloh sebaliknya bila amalannya penuh dengan kesyirikan dan segala bentuk bid’ah maka dia adalah wali setan. Berikut kita akan rinci ciri-ciri dari kedua jenis wali tersebut.
Ciri-Ciri Wali Alloh
Alloh telah menyebutkan ciri para waliNya dalam firmannya, “Ingatlah; sesungguhnya para wali-wali Alloh Mereka tidak merasa takut dan tidak pula merasa sedih. Yaitu orang-orang yang beriman lagi bertaqwa”. (Yunus: 62-63).
Ciri pertama, beriman, artinya keimanan yang yang dimilikinya tidak dicampuri oleh berbagai bentuk kesyirikan. Keimanan tersebut tidak hanya sekedar pengakuan tetapi keimanan yang mengantarkan kepada bertakwa. Landasan keimanan yang pertama adalah Dua kalimat syahadat. Maka orang yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat atau melakukan hal-hal yang membatalkan kalimat tauhid tersebut adalah bukan wali Alloh. Seperti menjadikan wali sebagai perantara dalam beribadah kepada Alloh, atau menganggap bahwa hukum selain Islam adalah sama atau lebih baik dari hukum Islam. Atau berpendapat semua agama adalah benar. Atau berkeyakinan bahwa kenabian dan kerasulan tetap ada sampai hari kiamat bahwa Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam bukan penutup segala rasul dan nabi.
Ciri kedua, bertaqwa, artinya ia melakukan apa yang diperintah Alloh dan menjauhi apa yang dilarang Alloh. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadits ini yaitu melakukan hal-hal yang diwajibkan agama, ditambah lagi dengan amalan-amalan sunnah. Maka oleh sebab itu kalau ada orang yang mengaku sebagai wali, tapi ia meninggalkan beramal kepada Alloh maka ia termasuk pada jenis wali yang kedua yaitu wali setan. Atau melakukan ibadah-ibadah yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah dan para sahabatnya. Baik dalam bentuk shalat maupun zikir, dll.
Ciri-Ciri Wali Setan
Adapun ciri wali setan adalah orang yang mengikuti kemauan syetan, mulai dari melakukan syirik dan bid’ah sampai bebagai bentuk kemaksiatan. Diantaranya adalah apa yang disebutkan dalam hadits ini yaitu memusuhi wali-wali Alloh. Banyak cara setan dalam menyesatkan wali-walinya diantaranya adalah bila ada orang yang melarang berdo’a atau meminta dikuburan wali, syetan langsung membisikan kepadanya bahwa orang ini tidak menghormati wali.
Sebagaimana Alloh terangkan dalam firmanNya bahwa setan juga memberikan wahyu kepada para wali-wali mereka:
“Sesunguhnya setan-setan itu mewahyukankan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu, jika kamu mentaati Mereka sesungguhnya kamu termasuk menjadi orang-orang musyrikin”. (Al An’aam: 121).
Sesungguhnya menghormati wali bukanlah dengan berdo’a di kuburannya, justru ini adalah perbuatan yang dibenci wali itu sendiri karena telah menyekutukannya dengan Alloh. Manakah yang lebih tinggi kehormatan seorang wali disisi Alloh dengan kehormatan seorang nabi? Jelas nabi lebih tinggi. Jangankan meminta kepada wali kepada nabi sekalipun tidak boleh berdoa. Jangankan saat setelah mati di waktu hidup saja nabi tidak mampu mendatangkan manfaat untuk dirinya sendiri, apalagi untuk orang lain setelah mati!. Kalau hal itu benar tentulah para sahabat akan berbondong-bondong kekuburan nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam saat Mereka kekeringan atau kelaparan atau saat diserang oleh musuh. Tapi kenyataan justru sebaliknya, saat paceklik terjadi di Madinah, Umar bin Khatab mengajak kaum muslimin melakukan shalat istikharah kemudian menyuruh Abbas bin Abdul Muthalib berdoa, karena kedekatannya dengan nabi, bukannya Umar meminta kepada Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam. Karena kehidupan beliau di alam barzah tidak bisa disamakan dengan kehidupan di alam dunia.
Kemudian bentuk lain dari cara setan dalam menyesatkan wali-walinya adalah dengan memotivasi seseorang melakukan amalan-amalan bid’ah, sebagai contoh kisah yang amat mashur yaitu kisah Sunan Kalijaga, kita tidak mengetahui apakah itu benar dilakukan beliau atau kisah yang didustakan atas nama beliau, namun kita tidak mengikari kalau memang beliau seorang wali, yang kita cermati adalah kisah kewalian beliau yang jauh dari tuntunan sunnah, yaitu beliau bersemedi selama empat puluh hari di tepi sebuah sungai kemudian di akhir persemedian beliau mendapatkan karomah. Kejanggalan pertama dari kisah ini adalah bagaimana beliau melakukan shalat, kalau beliau shalat berarti telah meninggalkan shalat berjama’ah dan shalat jum’at? adakah petunjuk dari Rasulullah untuk mencari karomah dengan persemedian seperti ini? Dengan meninggalkan shalat atau meninggalkan shalat berjamaah dan shalat jum’at.
Banyak orang berasumsi bila seseorang memiliki atau dapat melakukan hal-hal yang luar biasa dianggap sebagai wali. Padahal belum tentu, boleh jadi itu adalah tipuan atau sihir, atas bantuan setan dan jin setelah ia melakukan apa yang diminta oleh jin dan setan tersebut. Seperti ada orang yang bisa terbang atau berjalan diatas air atau tahan pedang atau bisa memberi tahu tentang sesuatu yang hilang, oleh sebab itu yang perlu dicermati dari setiap orang memiliki hal-hal yang serupa adalah bagaimana amalanya apakah amalanya sehari-hari menurut sunnah atau tidak? sebagaimana dikatakan Imam Syafi’i: “Bila kamu melihat seseorang berjalan di atas air atau terbang di udara maka ukurlah amalannya dengan sunnah”.
Karena setan bisa membawa seseorang untuk terbang, atau memberitahu para walinya sesuatu yang tidak dilihat oleh orang lain. Sebagaimana Dajjal yang akan datang diakhir zaman memiliki kekuatan yang luar biasa. Begitu pula para kaum musyrikin dapat mendengar suara dari berhala yang mereka sembah, pada hal itu adalah suara syetan. Dan banyak sekali kejadian yang luar biasa dimiliki oleh orang-orang yang sesat begitu pula orang yang murtad dsb. Yang kesemuanya adalah atas tipuan setan.
Sebagaimana yang diriwayatkan dalam kisah seorang nabi palsu Mukhtar bin Abi ‘Ubaid, yang mengaku sebagai nabi. Kita mengaku bahwa dia menerima wahyu, lalu seseorang berkata kepada Ibnu ‘Umar dan Ibnu ‘Abbas: sesungguhnya Mukhtar mengaku diturunkan kepadanya wahyu? Dua orang sahabat tersebut menjawab: benar, kemudian salah seorang dari Mereka membaca firman Alloh:
“Maukah kamu Aku beritakan kepada siapa turunnya para setan? Mereka turun kepada setiap pendusta yang banyak dosa “. (Asy Syu’araa: 221-222). Dan yang lain membaca firman Alloh, “Dan sesungguhnya para setan itu mewahyukan kepada wali-wali Mereka untuk membantahmu”. (Al An’aam: 121).
Oleh sebab itu bila seseorang mendapat ilham dia tidak boleh langsung percaya sampai ia mengukur kebenarannya dengan Al Qur’an dan Sunnah. Karena nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam menyebutkan dalam sebuah hadits: “Sesungguhnya dalam diri anak Adam terdapat bisikan dari setan dan bisikan dari malaikat”. (HR. At Tirmizy no: 2988).
Berkata Abu Sulaiman Ad Daraany: “Boleh jadi terbetik di hatiku apa yang terbetik di hati Mereka (orang-orang sufi) maka aku tidak menerimanya kecuali dengan dua saksi dari kitab dan sunnah”.
Beberapa kesalahpahaman tentang kewalian yang terjadi di tengah-tengah masyarakat yaitu:
1. Berasumsi bahwa seorang wali itu Maksum (terbebas) dari segala kesalahan, sehingga mereka menerima segala apa yang dikatakan wali.
Banyak orang memahami bahwa seseorang tidak akan pernah sampai kepada puncak kewalian kecuali ia (maksum) terbebas dari segala kesalahan, hal ini sangat menjauhi kebenaran yang terdapat dalam Islam. Sesungguhnya para ulama telah sepakat tiada yang maksum dari umat manusia kecuali para nabi dan rasul dalam hal menyampai wahyu yang mereka terima. Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam bersabda “Setiap anak adam adalah pasti bersalah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat”. (HR. At Tirmizy no: 2499).
Pemahaman seperti ini telah menyeret banyak orang kedalam kesesatan, dan lebih sesat lagi ada yang berpendapat bahwa wali lebih tinggi derajatnya dari nabi sebagaimana pandangan orang-orang rafidhah (syi’ah) dan sebagian dari orang-orang sufi. Oleh sebab itu kebanyakan Mereka mengkultuskan sang kiyai atau sang guru dan membenarkan kesesatan yang dilakukan oleh sang kiyai atau sang guru sekalipun perbuatan tersebut nyata-nyata melanggar Al Quran dan Sunnah.
Bahkan dikisahkan bila seorang murid melihat sang guru minum khamar, maka sebenarnya ia minum susu, tapi yang salah adalah penglihatan sang murid karena matanya berlumuran dosa, begitulah orang-orang sufi melakukan dokrin dalam menyebarkan kesesatan mereka.
2. Berasumsi bahwa seorang wali itu mesti memiliki karomah (kekuatan luar bisa).
Bentuk kedua dari kesalah pahaman dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka mesti memiliki karomah yang nyata bahkan bisa dipertontonkan kepada khalayak ramai. Seperti tahan pedang dan sebagainya. Tapi sebetulnya itu semua adalah tipuan setan. Seorang wali boleh jadi ia diberi karomah yang nyata boleh jadi tidak, tapi karomah yang paling besar disisi wali adalah istiqomah dalam menjalankan ajaran agama, bukan berarti kita mengingkari adanya karomah tapi yang kita ingkari adalah asumsi banyak orang bila ia tidak memiliki karomah berarti ia bukan wali. Oleh sebab itu Abu ‘Ali Al Jurjaany berpesan: “Jadilah engkau penuntut istiqomah bukan penuntut karomah, sesungguhnya dirimu lebih condong untuk mencari karomah, danTuhanmu menuntut darimu istiqomah”.
Betapa banyaknya para sahabat yang merupakan orang terdepan dalam barisan para wali tidak memiliki karomah. Begitu pula Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam sebagai hamba yang paling mulia disisi Alloh waktu berhijrah beliau mengendarai onta bukan mengendarai angin, begitu pula dalam perperangan beliau memakai baju besi bahkan pernah cedera pada waktu perang uhud. Karomah bukan sebagai syarat mutlak bagi seorang wali. Karomah diberikan Alloh kepada seseorang boleh jadi sebagai cobaan dan ujian baginya, atau untuk menambah keyakinannya kepada ajaran Alloh, atau pertolongan dari Alloh terhadap orang tersebut dalam kesulitan. Para ulama menyebutkan seseorang yang tidak butuh kepada karomah lebih baik dari orang yang butuh kepada karomah. Bahkan kebanyakan para ulama salaf bila Mereka mendapat karomah justru Mereka bersedih dan tidak merasa bangga karena mereka takut bila hal tersebut adalah istidraaj (tipuan). Begitu pula mereka takut bila di akhirat kelak tidak lagi menerima balasan amalan mereka setelah mereka menerima waktu didunia dalam bentuk karomah. Begitu pula bila mereka di beri karomah, mereka justru menyembunyikannya bukan memamerkannya atau berbagga diri dihadapan orang lain.
3. Berasumsi bahwa seorang wali dapat mengetahui hal-hal yang ghaib.
Bentuk kesalahpahaman ketiga dalam masalah perwalian adalah berasumsi bahwa Mereka dapat mengetahui hal-hal yang ghaib. Asumsi ini sangat bertolak belakang dengan firman Alloh, “Di sisiNya (Alloh) segala kunci-kunci yang ghaib, tiada yang dapat mengetahuinya kecuali Dia (Alloh)”. (Al An’aam: 59).
Dan firman Alloh, “Katakanlah”: tiada seorangpun di langait maupun di bumi yang dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali Alloh”. (An Naml: 65).
Termasuk para nabi dan rasul sekalipun tidak dapat mengetahui hal yang ghaib kecuali sebatas apa yang diwahyukan Alloh kepada mereka. Sebagaimana firman Alloh kepada Nabi kita shalAllohu ‘alaihi wa sallam, “Katakanlah: Aku tidak mengatakan kepada kalian bahwa disisiku gudang-gudang rezki Alloh, dan akupun tidak mengetahui hal yang ghaib”. (Al An’aam: 50). Dan firman Alloh: “Katakanlah: aku tidak memiliki untuk diriku manfaat dan tidak pula (menolak) mudharat, dan jika seandainya aku mengetahui hal yang ghaib tentulah aku akan (memperoleh) kebaikan yang amat banyak dan tidak akan pernah ditimpa kejelekkan”. (Al A’raaf: 188).
Asumsi sesat ini telah menjerumuskan banyak manusia kejalan kesyirikan, sehingga Mereka lebih merasa takut kepada wali dari pada takut kepada Alloh, atau meminta dan berdo’a kepada wali yang sudah mati yang Mereka sebut dengan tawassul. Yang pada hakikatnya adalah kesyirikan semata. Karena meminta kepada makhluk adalah syirik. Tidak ada bedanya dengan kesyirikan yang dilakukan oleh kaum Nuh ‘alaihi salam. Dan orang-orang kafir Quraisy pada zaman jahiliyah. Dengan argumentasi yang sama bahwa Mereka para wali itu orang suci yang akan menyampaikan doa Mereka pada Alloh. Hal inilah yang dilakukan kaum musyrikin sebagaimana yang disebutkan Alloh dalam firmannya: “Ingatlah milik Alloh-lah agama yang suci (dari syirik), dan orang-orang mengambil wali (pelindung) selain Alloh berkata: kami tidak menyembah Mereka melainkan supaya Mereka mendekatkan kami kepada Alloh dengan sedekat-dekatnya”. (Az Zumar: 3).
Kedua: Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
Hal tersebut diambil dari potongan kedua dari hadits: “Dan tidaklah seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya, dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Manhaj yang benar dalam beribadah
Dalam hadits mulia ini terdapat pula manhaj (tata cara) beribadah yaitu mendahulukan yang wajib diatas yang mandub (sunnah), namun yang sering pula kita saksikan ditengah sebagian masyarakat mereka sangat antusias melakukan sunnah tapi lalai dalam hal yang wajib, contoh seseorang yang rajin qiyamullail (shalat malam) tapi sering terlambat shalat subuh berjama’ah. Begitu pula masa musim haji sebagian orang ada yang mati-matian supaya bisa shalat di raudhah atau untuk bisa mencium hajar aswad, tetapi dengan melakukan hal yang haram seperti saling dorong sesama muslim. Ditambah lagi hal-hal yang wajib dalam haji itu sendiri Mereka lalaikan seperti tidak mabit di mina atau melempar jumroh dipagi hari pada hari tasyrik dan lain sebagainya. Sebagaimana kata pepatah: “Karena mengharap burung punai di udara, ayam di pautan dilepaskan”.
Yang lebih memprihatinkan lagi kalau bersungguh-sungguh dalam amalan yang tidak ada dasarnya (amalan bid’ah), seperti maulid atau memperingati tahun baru hijriah, atau nuzulul Qur’an atau Isra’ mi’raj, sering kita saksikan orang bersemangat melakukan acara-acara bid’ah tersebut yang setiap hari selalu lalai mengerjakan sholat. Begitu pula dalam berdakwah ada yang berpacu bagaimana mendirikan negara Islam tapi meremehkan orang yang mengajak kepada tauhid yang merupakan pondasi Islam itu sendiri. Begitu pula ada kelompok yang mengajak kepada akhlak semata tampa membicarakan masalah tauhid, dengan alasan mengkaji tauhid akan memecah belah umat. Betapa kejinya ungkapan tersebut, mengatakan bahwa tauhid sebagai biang keladi perpecahan. Tidakkah Mereka tahu bahwa tauhid adalah tujuan utama dawah para rasul. Data dan fakta telah membuktikan selama dakwah tidak dilakukan sesuai dengan manhaj yang dibawa Rasulullah shalAllohu ‘alaihi wa sallam selama itu pula umat ini akan tetap menjadi permainan musuh-musuhnya. Oleh sebab itu Imam Malik berpesan: “Tidak akan baik generasi akhir umat ini kecuali dengan apa yang telah membuat jaya generesi sebelum Mereka”.
Beberapa kesalahan dalam melakukan ibadah.
Diantara kesalahan dalam beribadah adalah beribadah tampa ilmu maka berakibat terjerumus kedalam bid’ah. Umar bin Abdul Aziz berkata: “Orang beramal tampa ilmu kerusakan yang ditimbulkannya jauh lebih besar dari kemaslahatannya”. Oleh sebab itu setiap amalan yang akan kita lakukan, kita wajib memiliki ilmu tentangnya. Seperti berdzikir yang ngetren saat ini, maka kita perlu memiliki ilmu bagaimana berdzikir menurut tuntunan sunnah dan bagaimana pengaplikasiannya oleh sahabat, jangan ikutsana, ikut sini, yang pada akhirnya bermuara pada kesesatan. Carilah ilmu kepada ahlinya, sebagaimana yang Alloh pesankan kepada kita: “Maka bertanyalah kepada ulama jika kamu tidak tahu”. (An Nahl: 43).
Kalau para ikhwan ingin menjadi ahli teknik tentu belajar di fakultas teknik yang para dosennya pakar dalam bidang teknik, begitu pula dalam bidang ahli lainnya, tapi saat sekarang banyak orang berani berbicara dalam agama, padahal baca al fatihah saja belum tentu benar. Banyak pakar gadungan sekarang dalam mengajarkan agama karena bisnisnya cukup menggembirakan, dan lebih sangat aneh kalau seseorang belajar Islam kepada orang kafir. Kalau sakit gigi saja kita pasti pilih dokter ahli gigi, tapi dalam hal agama kita justru belajar kepada siapa saja yang tidak tau dari mana rimbanya. Alloh telah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan diminta pertanggung jawabannya”. (QS Al Israa: 36).
Sebaliknya adalah tidak mengamalkan ilmu yang dimiliki. Maka pelakunya akan disiksa sebagaimana yang diceritakan dalam sebuah hadits bahwa orang tersebut akan mengelilingi sebuah pautan dalam neraka dengan tali perutnya, lalu orang-orang yang melihat keheranan sebab di dunia dia adalah orang yang mengajarkan ilmu kepada mereka, lalu mereka bertanya kenapa kamu ya fulan? Bukankah kamu yang mengajak kami kepada kebaikan? Ia menjawab: aku menyuruh kepada kebaikan tapi aku tidak melakukannya, aku mencegah dari kemungkaran tapi aku melakukannya”. Na’uzubillah min hadza haal. Alloh telah berfirman: “Apakah kamu menyuruh manusia dengan kebaikan dan kamu melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca Al kitab taurat), apakah kamu tidak memikirkannya”. (Al Baqarah: 44).
Oleh sebab itu kita berlindung dari kedua sikap jelek ini, tidak kurang dari 17 X dalam sehari semalam yaitu; beramal tanpa ilmu atau berilmu tapi tidak beramal.
“Ya Alloh tujukilah kami Jalan yang lurus. Yaitu jalan orang-orang yang telah engkau beri nikmat kepada mereka. Bukan jalan orang-orang yang engkau marahi dan bukan pula jalan orang-orang yang sesat”. (Al Fatihah: 6-7).
Ayat ini ditafsirkan oleh nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam bahwa orang-orang yang dimarahi adalah orang-orang Yahudi, karena Mereka mengetahui kebenaran tapi tidak mau mengikuti kebenaran tersebut. Sedangkan jalan orang-orang yang sesat adalah orang-orang Nasrani, karena Mereka beramal tapi tidak dengan ilmu.
Keutamaan melakukan amalan-amalan sunnah.
Kemudian diantara hal yang amat cepat mengantarkan seseorang kepada memperoleh kecintaan dari Alloh adalah aktif melakukan amalan-amalan sunnah sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang sedang kita bahas ini. “Bila seseorang telah dicintai Alloh maka seluruh makhluk akan mencintainya. Disebutkan dalam hadits lain bila Alloh telah mencintai seseorang, Alloh memanggil Jibril dan memberitahunya bahwa ia telah mencintai si fulan, maka Alloh menyuruh jibril untuk mencintainya, selanjutnya Jibril pun memberitahu para malaikat bahwa Alloh mencintai si fulan, maka seluruh malaikat mencintainya, kemudian Alloh menjadikannya orang yang diterima di bumi”. (HR. Bukhary no: 3037, dan Muslim no: 2637).
Kemudian diantara keutamaan amalan sunnah adalah untuk menyempurnakan amalan wajib yang punya nilai kurang dalam pelaksanaannya. Kemudian melakukan amalan sunnah perlu pula mengurut seperti dalam amalan wajib artinya kita mulai yang lebih utama dari amalan-amalan sunnah. Kalau dalam shalat umpamanya setelah sunnah rawatib shalat witir dan tahajud. Kemudian perlu pula diperhatikan kondisi dan situasi amalan tersebut, seperti saat mendengar adzan yang afdhol adalah menjawab azan, bukan membaca Al Qur’an sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang. Begitu pula bagi seorang yang memiliki harta yang utama baginya adalah berinfak dan membantu fakir miskin. Bagi seorang penguasa adalah belaku adil dan amanah dalam menjalankan tugasnya. Begitu pula halnya dalam berdakwah masing-masing melaksanakan profesi yang digelutinya sesuai dengan aturan Islam serta menyebarkan Islam melalui profesinya tersebut. Maka disini kita perlu menuntut ilmu supaya kita mengetahui tingkatan amalan yang akan kita lakukan.
Ketiga: Tentang sifat Alloh Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Kaidah umum dalam beriman kepada nama dan sifat-sifat Alloh.
Dalam mengimani sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Quran dan Sunnah perlu diperhatikan beberapa kaedah penting, yang disimpulkan dari nash-nash Al Quran dan Hadits:
  1. Wajibnya beriman dengan seluruh sifat dan nama-nama Alloh yang terdapat dalam Al Qur’an dan Sunnah yang shohih.
  2. Tidak menyerupakan sifat-sifat Alloh tersebut dengan sifat-sifat makhluk.
  3. Menutup keinginan untuk mengetahui hakikat sifat-sifat tersebut.
Penjelasan kaedah-kaedah tersebut sebagai berikut;
Bila kita tidak beriman dengan sifat-sifat tersebut berarti kita mendustakan Al Quran dan berita yang dibawa oleh Nabi Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, setiap orang yang mendustakan Al Qur’an atau berita yang dibawa oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam maka ia adalah kafir. Sebagaimana firman Alloh:
“Sesungguhnya orang-orang yang kafir dengan Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara Alloh dan rasul-rasul-Nya, dan mereka berkata: kami beriman dengan sebagian dan kami kafir dengan sebagian (yang lain) dan mereka bermaksud mengambil jalan tengah diantara yang demikian”. (An Nisaa: 150).
Dan firman Alloh lagi:
“Apakah kamu beriman dengan sebahagian kitab dan kafir dengan bagian (yang lain), maka tiada balasan orang yang berbuat demikian kecuali kenistaan dalam kehidupan dunia dan pada hari kiamat mereka akan dikembalikan kepada siksaan yang amat berat, dan Alloh tidak pernah lengah dari apa yang mereka lakukan”. (Al Baqarah: 85).
Kaedah pertama ini juga menunjukkan kepada kita bahwa medan pembicaraan tentang sifat-sifat Alloh adalah sebatas adanya nash dari Al Qu’an atau dari sunnah yang shahih. Kaidah ini menunjukkan pula batilnya sikap orang yang mentakwil ayat atau hadits-hadits yang menerangkan tentang sifat-sifat Alloh.
Bila seseorang mentakwil sifat-sifat tersebut berarti ia lebih tahu dari Alloh dan rasul dalam menyampaikan suatu berita, sehingga ia merubah maksud dari perkataan Alloh dan rasul-Nya. Ini adalah kebiasaan kaum Yahudi yang suka merubah dan memutarbalik perkataan Alloh dan rasul-Nya. Yang kemudian diwarisi oleh kaum rasionalisme (Ahlulkalam).
Begitu pula orang yang menyerupakan sifat-sifat Alloh dengan sifat-sifat makhluk, berarti ia menyerupakan Alloh yang Maha Sempurna dengan makhluk yang serba kurang. Orang yang menyerupakan Alloh dengan makhluk adalah kafir. Karena tiada satupun makhluk yang meyerupai Alloh. Sebagaimana firman Alloh:
“Tiada sesuatu apapun yang menyerupai-Nya”. (Asy Syura: 11).
Dan firman Alloh: ِ
“Maka jangalah kamu menjadikan tandingan-tandungan bagi Alloh”. (An Nahl: 74).
Begitu pula orang yang mempertanyakan bagaimana hakikat sifat Allah tersebut. Karena Allah itu gaib bagaimana akan bisa mengetahui hakikat sifatnya. Tiada yang mengetahui tentang hakikat sifat Allah kecuali Allah itu sendiri. Sebagai contoh sederhana bahwa akal manusia tidak bisa mengetahui hakikat sesuatu yang amat dekat denganya yaitu nyawa (ruh) manusia itu sendiri, tidak ada seorangpun yang mengetahui hakikat sifatnya, tapi semua orang meyakini bahwa ruh itu ada. tetapi mereka tidak mampu mengetahui hakikatnya.
Jadi dalam sifat Allah kita dituntut untuk beriman atas keberadaan sifat tersebut, bukan ditunutut untuk mengetahui hakikat sifat tersebut. Karena setiap sifat hakikatnya sesuai dengan zatnya masing-masing sekalipun namanya sama seperti kaki meja tidak sama dengan kaki gajah, kaki gajah tidak sama dengan kaki manusia, sekalipun namanya sama-sama kaki. Begitu pula sayab burung tidak serupa dengan sayap pesawat, begitu pula sayab burung dan sayap pesawat tidak sama dengan sayap nyamuk. Begitulah seterusnya bahwa hakikat setiap sifat sesuai dengan zatnya masing-masing. Sifat sesama makhluk saja tidak sama sekalipun namanya sama. Apalagi sifat Allah yang Maha Sempurna, tentu pasti tidak akan sama dengan sifat yang penuh kekurangan dan kelemahan. Allah mendengar tapi pendengarnya tidak seperti pendengaran makhluk, pendengarannya sesuai dengat zat-Nya Maha Sempurna. Maka pendengar Allah Maha Sempurna dari segala pendengaran. Allah dapat mendengar bisikan hati seseorang, tapi seorang makhluk tidak bisa mendengar suara dibalik dinding. Begitulah kesempurnaan sifat Allah. Allah berbicara tapi tidak seperti makhluk berbicara. Ada orang yang memahami kalau begitu Allah punya lidah, punya tenggorokan, kemudian karena ini adalah sifat makhluk, ia mentakwil sifat tersebut. Pertama ia menyurupakan Allah dengan makhluk, untuk selamat dari itu ia lari kepada takwil. Yang kedua-duanya adalah jalan sesat. Kalau ia mengerti dari semula bahwa Allah Tidak menyerupai makhluk dalam segala sifat-Nya, tentu ia tidak perlu lagi melakukan takwil. Banyak makhluk yang berbicara tampa mesti memiliki lidah dan tenggorokan, seperti batu yang memberi salam sewaktu beliau di Makkah. Begitu pula nanti diakhiratrkepada nabi tangan dan kaki manusia akan berbicara menjadi saksi atas perbuatan Mereka tampa ada mulut dan lidah. Oleh sebab itu yang amat perlu dipahami adalah hakikat setiap sifat sesuai menurut zatnya masing-masing sekalipun namanya satu.
Keempat: Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
Hal tersebut diambil dari potongan hadits: “Dan senantiasa seorang hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya jadilah aku sebagai pendengarnya yang ia gunakan untuk mendengar, dan sebagai penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, dan sebagai tangannya yang ia gunakan untuk berbuat, dan sebagai kakinya yang ia gunakan untuk berjalan”.
Kata-kata “senantiasa” menunjukkan bahwa amalan tersebut berkesenambungan yang lebih dikenal dalam istilah syar’i “Istiqomah” dalam melakukan amalan-amalan tersebut. Oleh sebab itu dalam hadits lain disebutkan: “Sebaik-baik amal adalah yang selalu dilakukan sekalipun sedikit”. Tapi sebagian orang sering melakukan amalan pada suatu saat saja, kemudian lalu ditinggalkan.
Maksud hadits ini adalah bila seseorang istiqomah dalam melakukan amalan-amalan sunnah, ia mendapat pringkat mahabbah dari Allah, orang yang memperoleh peringkat ini Allah menuntun orang tersebut untuk menjauhi kemaksiatan, bukan berarti ia maksum dari kesalahan. Dan memberikan taufiq dan ‘inayah kepadanya untuk melakukan kebaikan dan keta’atan. Sehingga mata seseorang tersebut terjaga dari melakukan maksiat, dari melihat kepada sesuatu yang diharamkan Allah, seperti melihat foto-foto porno dan film-film porno, dsb. tetapi dipergunakannya kepada hal yang bermamfaat baik untuk kehidupan dunia maupun kehidupan akhirat, seperti membaca Al Qur’an atau membaca buku-buku agama dan buku ilmu lainnya sepeti ilmu kesehatan, tenik, pertanian dst. Kemudian Allah juga menjaga telinganya dari mendengar kata-kata yang kotor atau cumbu rayu dan nyanyi-nyanyian. Tetapi dipergunakanya untuk kemaslahatan duniawi atau kemaslahatan ukhrawi, seperti mendengarkan nasehat agama atau pelajaran di kampus dan disekolah. Begitu pula tangannya akan dijaga Allah dari melakukan sesuatu yang haram baik dari melakukan pencurian, pembunuhan, penganiayaaan, KKN dan sebagainya. Tetapi tangannya akan dituntun Allah untuk melakukan hal-hal yang positif baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Maka dapat kita simpulkan disini bahwa amal sholeh dapat menuntun seseorang kepada segala hal yang baik sebaliknya menjaga seorang muslim dari ketejerumusan kepada kemaksiatan.
Sebaliknya orang yang lengket hatinya kepada maksiat Allah membiarkannya tenggelam dalam kemaksiatan tersebut.
Sebagaimana firman Allah:
“Maka tatkala Mereka berpaling (dari kebenaran), Allah palingkan betul hati Mereka”. (Ash shaaf: 5).
Hal ini juga diterangkan Rasulullah dan sabda beliau: “Sesungguhnya kejujuran menunjukan kepada kebaikan, dan sesungguhnya kebaikan itu menunjukan kepada surga. Sesungguhnya seseorang senantiasa berlaku jujur hingga dicatat di sisi Allah sebagaia orang yang paling jujur. Dan sesungguhnya kebohongan menunjukan kepada kemaksiatan, dan sesungguhnya kemaksiata itu menunjukan kepada neraka, sesungguhnya seseorang senantiasa berbohong samapai dicatat di sisi Allah sebagai seoranga yang paling bohong”. (HR. Bukhary no: 5743, dan Muslim no: 2607).
Dalam hadits lain: “Sesungguhnya balasan (suatu amalan) sesuai dengan amalan itu sendiri”.
Maka jika amalannya baik, maka balasanya pun baik dan sebaliknya bila amalan tersebut jelek maka balasannyapun jelek. Oleh sebab itu sebagian ulama mengatakan sebaik-baik balasan sebuah amal shaleh adalah amal shaleh yang mengiringinya, suatu hal yang menunjukkan bahwa sebuah amalan diterima disisi Allah adalah keta’atan yang diiringi oleh keta’atan.
Kekeliruan orang sufi dalam memahami makna hadits ini.
Sebagian orang justru memahami makna hadits dengan keliru, seperti kelompok eksrim dari orang-orang sufi, Mereka memahaminya bahwa Allah menjelma dalam pandangan, pendengaran dan tangan serta kaki Mereka. Kebatilan paham ini sangat jelas sekali bagi orang yang berakal dan orang yang membaca Al Qur’an dan Sunnah. Sebab tidak mungkin pendengaran seseorang, pelihatan dan tangan serta kakinya akan memiliki sfat-sifat ketuhanan. Kalau begitu bila kakinya terjepit atau tangannya terjepit, maka yang terpit adalah tuhan?!. Begitu pula kalau penedengaran dan penglihatannya kabur berarti yang kabur adalah tuhan?!. Pandangan seperti ini membawa kepada kekufuran. Bila ada seseorang perpandangan seperti ini maka tidak perlu diragukan lagi atas kekafirannya. Karena kekhususan sifat-sifat ketuhanan tidak boleh diberikan kepada makhluk, begitu pula sebaliknya kekhususan sifat-sifat makhluk tidak boleh diberikan kepada Allah. Kalau benar apa yang Mereka pradiksi tentu tidak ada disana lagi istilah hamba dan khlaik. berarti makluk adalah tuhan, tuhan adalah makhluk! ini adalah kekafiran yang amat nyata.
Tentu akan dipahami dari kelanjutan hadits tersebut yang berdo’a adalah hamba, dan yang mengabulkan permintaanya adalah ia sendiri. Sungguh amat nyata kekeliruan paham seperti ini karena Mereka mengingkari akan keberadaan makhluk, atau menyatukan antara keberadaan makhluk dengan keberadaan Khalik. Hal ini dibantah oleh kandungan hadits itu sendiri karena dalam hadits tersebut disebut ada dua faktor yang saling berhubungan:
Seperti yang terdapat di penghujung hadits bahwa Allah berkata: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Jadi jelas ada disana dua pelaku yaitu hamba yang meminta dan Allah yang memperkenangkan permintaannya. Begitu pula ada hamba yang memohon perlindungan dan Allah yang memberi perlindungan kapadanya. Oleh sebab itu telah berkata sebagian ulama: Bila seseorang bedalil untuk kebatilannya dengan Al Qur’an atau hadits shohih, maka sesungguhnya dalam dalil itu sendiri sudah ada jawaban untuk menunjukkan kebatilannya.
Manhaj ulama dalam memahami nas-nas yang mutsyabih (meragukan).
Perlu pula kita ingatkan disini, bila salah seorang di anatara kita menemukan suatu dalil atau perkataan yang meragukan, maka yang perlu kita lakukan adalah mengembalikan pemahaman dalil atau perkataan tersebut kepada dalil yang jelas pengertiannya. Yang lebih dikenal dengan istilah “Raddul Almutasyaabih ila Albayyinaat, wa Almujmal ila Almufashshal” (mengembalikan persoalan yang meragukan kepada hal yang jelas, dan yang global kepada yang rinci).
Kelima: Balasan yang diberikan Allah untuk orang yang selalu taat pada Allah.
Hal tersebut diambil dari potongan: “Dan jika ia meminta (sesuatu) kepadaKu pasti Aku akan memberinya, dan jika ia memohon perlindungan dariKu pasti Aku akan melindunginya”.
Dari potongan yang terakhir dari hadits ini bahwa para wali itu hanya berdoa dan memohon perlindungan hanya kepada Alloh. Bukan kepada para wali, begitu pula wali yang mendapat kedudukan yang terhormat disisi Alloh bukanlah tempat untuk meminta kebaikan atau untuk sebagai tempat memohon perlindungan dari mara bahaya. Sebagaimana yang banyak dilakukan oleh orang-orang awam yang tertipu oleh kewalian seseorang, sehingga telah menyeret mereka berbuat syirik kepada Alloh. Sekalipun wali namun ia tetap tidak bisa mendatangkan kebaikan maupun menolak keburukan dari dirinya sendiri kecuali atas pemberian Alloh kepadanya. Juga wali bukan sebagai tempat perantara kepada Alloh dalam berdoa, karena bila menjadikan mereka sebagai tempat perantara berarti telah menyekutukan mereka dengan Alloh. Sebagaimana kebiasaan umat nabi Nuh ‘alaihissalam yang telah menjadikan orang-orang sholeh mereka sebagai tempat perantara dalam berdoa kepada Alloh.
Akhir hadits ini juga menerangkan keutamaan wali Alloh, bahwa Alloh selalu mencurahkan rahmat dan kebaikan kepada orang tersebut serta selalu menjaganya dari berbagai bahaya dan bencana. Lalu mungkin akan timbul suatu pertanyaan dalam benak kita kenapa kita melihat kadangkala para wali Alloh itu juga ditimpa kejelekkan dan penyakit seperti nabi Ayub yang ditimpa penyakit begitu pula Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam pernah kalah dan cedera dalam perperangan Uhud? Dan banyak lagi contoh-contoh serupa baik ditingkat para nabi dan rasul maupun ditinggkat para sahabat dan Tabi’iin?. Jawabannya adalah sebagaimana berikut:
  1. Diantara hikmahnya adalah untuk menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa tidak memiliki sedikitpun sifat-sifat ketuhanan. Sehingga tidak terjadi pengkultusan terhadap mereka.
  2. Diantara hikmahnya juga adalah untuk mengangkat derajat mereka di sisi Alloh, sebagai balasan atas kesabaran mereka dalam menghadapi berbagai cobaan tersebut.
    Sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya: “Bahwa seseorang itu akan diberi cobaan sesuai dengan tingkat keimanannya”. (HR. At Tirmizy no: 2398).
    Semakin tinggi tingkat keimanan seseorang tersebut semakin besar pula cobaan yang akan dihadapinya.
  3. Diantara hikmahnya lagi adalah untuk menunjukkan bahwa segala yang terjadi di muka bumi ini adalah atas kehendak Alloh, dan tidak ada sedikitpun campur tangan seorang pun dari makhluk, sekalipun ia nabi atau wali.
Kekeliruan sebagian orang dalam masalah berdoa.
Ada beberapa kesalahan dalam masalah berdoa yang terjadi dikalangan sebagian sekte sufi yang mana mereka menolak untuk melakukan berdo’a dengan alasan bahwa segalanya telah ditakdirkan Alloh, untuk apa kita berdoa kalau kita sudah ditakdirkan jadi penghuni surga ya… sudah pasrah saja sama takdir.Kekeliruan paham seperti ini banyak sekali diantaranya:
Pertama: Berdoa merupakan perintah dari Alloh, kalau manusia cukup pasrah kepada takdir tentu Alloh tidak akan menyuruh kita kepada sesuatu hal yang sia-sia.
Kedua: Bukankah orang yang paling mengerti dengan masalah takdir adalah para nabi dan rasul termasuk rasul yang paling agung Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, kenapa mereka masih berdoa, kalau doa adalah perbuatan sia-sia tentu Mereka tidak akan melakukannya apa lagi menganjurkannya.

Ketiga:
Berdoa disamping ia merupakan sebuah permintaan, doa juga merupakan ibadah yang agung, sebagaimana yang disebutkan Nabi shalAllohu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau: “Doa adalah ibadah”. Dalam riwayat lain: “Do’a adalah otaknya ibadah”. (HR. At Tirmizy no: 2969, 3247, 3371).
Keempat: Doa adalah termasuk dari jumlah takdir. Karena takdir Alloh ada dua: Takdir kauniyah dan takdir syar’iyah . Perbedaan antara keduanya adalah:
Takdir kauniyah adalah ketentuan Alloh yang mesti terjadi pada setiap makhluk tetapi tidak mesti hal yang ditetapkan tersebut sesuatu yang dicintai Alloh. Adapun takdir syar’iyah adalah sebaliknya, ia adalah segala perintah Alloh yang diturunkan kepada rasul-Nya, tidak mesti terjadi, dan ia merupakan sesuatu yang dicintai Alloh. Oleh sebab itu yang harus kita lakukan adalah melawan takdir kauniyah dengan takdir syar’iah sebagaimana yang terangakan oleh para ulama. Sebagaimana ungkapan Amirul mukminin Umar bin Khatab: “Kita lari dari takdir Alloh kepada Takdir Alloh”. Kemudian beliau memberi contoh bila seandainya kamu menggembala kambing lalu menemukan padang rumput yang kering, apakah kamu tidak akan mencari padang rumput yang subur?.
Kelima: Doa adalah sebagai sebab yang diperintahkan Alloh untuk dilakukan, sebagaimana makan sebagai sebab untuk kenyang, Barangsiapa yang meninggalkan sebab berarti ia telah membuang fungsi akal, begitu pula orang bergantung kepada sebab semata adalah syirik.
Kemudian diantara kesalahan lain dalam berdo’a adalah ekstrim dalam berdoa, yaitu melampaui batas dalam berdoa, seperti berdoa agar Alloh menjadikan gunung kelud jadi gunung emas, atau berdoa agar Alloh memberinya keturunan tanpa menikah dan yang seumpamanya. Maka diantara sikap wali Alloh adalah tidak meninggalkan berdoa dan tidak pula ekstrim dalam berdoa.
Ringkasan kandungan hadits wali:
Hadits diatas mengandung beberapa pembahasan penting diantaranya:
  1. Tentang al wala’ wal bara’ (loyalitas dan berlepas diri).
  2. Bagaimana mendekatkan diri kepada Alloh.
  3. Tentang sifat Alloh ; Al Kalam (berbicara) dan Al Mahabbah (cinta).
  4. Pengaruh ketaatan terhadap prilaku seorang muslim.
  5. Balasan yang diberikan Alloh untuk orang yang selalu taat pada Alloh.
  6. Hadits diatas juga memberikan support secara tidak langsung kepada kita untuk menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh yang hak.
  7. Kemudian hadits ini juga menunjukkan suatu kelaziman yang berbalik yaitu memusuhi musuh-musuh Alloh karena tidak akan mungkin seseorang menjadi wali Alloh atau menjadi penolong wali Alloh sementara ia juga berloyalitas kepada musuh Alloh atau kepada musuh para wali Alloh. Ini sudah suatu kelaziman yang secara otomatis pasti. Kalau tidak, berarti ia belum menjadikan Alloh sebagai wali karena ia mencintai apa yang dibenci Alloh. Seperti di masa akhir-akhir ini ada partai Islam yang calegnya dari non muslim.
Wallohu A’lam bisshawaab
Selawat dan salam buat Nabi kita Muhammad shalAllohu ‘alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi penulis dan pembaca serta siapa saja yang berpastisipasi dalam menyebarkannya.